Gangguan Teror di Perkeretapian Berpengaruh Terhadap Hajat Hidup Orang Banyak

Bandung – Adanya potensi ancaman aksi terorisme pada sarana transportasi, khususnya perekertaapian membuat Direktorat Pelindungan Kedeputian I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Keadaan Darurat Pada Perkeretaapian. Dan BNPT pun segera melakukan sosialisasi SOP tersebut kepada steakholder terkait terutama pada PT Kereta Api Indonesia bersama Kementrian dan Lembaga-lembaga terkait.

DR. Sri Yunanto, M.Si., Ph.D. selaku anggota kelompok ahli BNPT mengatakan bahwa pembuatan SOP untuk perkeretaapian dan fasilitias publik yang lain adalah proses kesepakatan bersama. Karena SOP tersebut sudah disusun beberapa tahun yang lalu.

“Pembahasan SOP berprinsip mengatur yang harus diatur dan tidak mengatur yang sudah ada. Perkeretaapian adalah sistem yang sudah ada sejak dulu, sehingga memiliki sistem keamanan internal yang solid, walaupun sistem internal ini tidak semata-mata untuk menanggulangi ancaman terorisme,” ujar Sri Yunanto dalam paparannya pada acara Sosialisasi SOP tersebut di Hotel Kedaton, Bandung, Kamis (26/11/2015) siang.

Menurutnya, perkeretaapian merupakan sistem transportasi yang tersebar di seluruh Indonesia dan memiliki nilai yang strategis bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu gangguan teror terhadap sarana Perkeretapian berpengaruh besar terhadap hajat hidup orang banyak dan kepentingan.

“Ancaman teror telah menghancurkan fasilitas umum. Di beberapa negara kereta api merupakan target dan sasaran. Jadi maksud dari SOP ini adalah untuk menjadi panduan ataupun pedoman bagi penanggungjawab dan pelaksana di lapangan dalam menangani tindak pidana terorisme di perkeretaapian,” ucapnya.

Dikatakannya bahwa SOP ini disebut dengan SOP Administratif yang sifatnya adalah koordinatif. Karena SOP ini lebih ditekankan pada penanganan jika terjadi ancaman terorisme. “Dan BNPT akan masuk apabila sudah terjadinya ancaman. Untk penekanan di bidang pencegahan, maka nanti SOP bisa diperluas atau dibuat yang baru. Berbeda dengan SOP yang dibahas sekarang ini,” ujarnya

Sedangkan tujuan dari SOP ini sendiri adalah untuk memudahkan penanggungjawab, pelaksana dan menghindari kerusakan. “Sehingga peran masing-masing lembaga nantinya bisa optimal, tidak overlapping dan tidak kosong,” katanya.

Dirinya menuturkan bahwa SOP ini mencakup ancaman terorisme, penentuan tingkat ancaman dan tindakan yang diambil serta mekanisme komunikasi, koordinasi dan pengendalian keadaaan darurat. “Ini karena ancaman internal, sistem keamanan di perkeretaapian masih rentan terhadap berbagai ancaman keamanan terorisme,” ujarnya.

Sri mengaku kalau selama ini kendala yang terjadi pada SDM dan peralatan atau teknologi yang digunakan. Dirinya memberikan contoh kasus pelemparan batu dan pencurian bantalan rel. “Bahkan sabotase terhadap kereta api lebih mudah dilakukan termasuk ketika kereta api melewati jembatan. Karena sabotase merupakan salah satu modus terorisme,” tuturnya.

Menurutnya, faktor yang mendorong terjadinya aksi terorisme adalah aspek geografi, aspek demografi (kelompok terorisme menentang keragaman) sehingga perlu optimalisasi fungsi intelejen dan cegah dini masyarakat, Stasiun Kereta Api, Ideologi, serta epoleksosbud.

“Terorisme di perkeretaapian, merupakan ancaman lisan dan tertulis, melakukan penyanderaan di fasilitas perkeretaapian, serta melakukan sabotase. Tindakan tersebut meliputi kegiatan yang membahayakan kegiatan operasional dalam perkeretapian,” katanya menjelaskan.
Lebih lanjut dirinya mengatakan bahwa Tingkat Keamanan dalam perkeretaapian terdiri dari tiga tingkatan yaitu Tingkat I yakni Normal; Tingkat II yaitu rawan dan Tingkat III yang berarti Darurat / Positif Terorisme. “Tetapi SOP ini belaku bagi tingkat kerawanan II dan III. Kalau Tingkat I ya tidak perlu dibahas karena situasinya Normal dan Aman,” ujarnya.

Dan jika terjadi ancaman terorisme maka yang melakukan penilaian adalah Kepala Stasiun setempat. Selanjutnya Kepala Stasiun akan berkoordinasi dengan senior Manager Pengamanan (PAM). “Kemudian Kepala Stasiun berkoordinasi dengan kepolisian secara internal. Sedangkan pelaporan kepada BNPT dilakukan oleh Senior Manager (SM) PAM,” ujarnya menjelaskan

Namun jika terjadi penganderaan, maka masinis kereta api berkorrdinasi dengan Kepala Stasiun untuk selanjutnya akan berkoordinasi dengan SM PAM dan SM Ops. “SM PAM yang selanjutnya melakukan identifikasikan apakah ancaman tersebut terorisme atau bukan. Apabila iya, maka harus melapor kepada BNPT,” ujarnya merinci.

Kemudian aparat Kepolisian setempat yang menerima laporan ancaman terorisme akan mengerah pasukan serta menyiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan. |Sedangkan BNPT sendiri akan bertindak sebagai operator dan personil apabila sudah diidentikasikan sebagai serangan teror,” ujarnya mengakhiri.