Jakarta – Kemajuan informasi teknologi di bidang keuangan atau financial technology (fintech) harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Pasalnya, layanan fintech bisa menjadi sarana kelompok tertentu untuk melakukan kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, fintech memang memiliki sisi yang perlu diperhatikan. Hal ini agar tidak mengganggu kestabilan sistem keuangan yang bebas dari pencucian uang dan pendanaan terorisme.
“Berdasarkan riset yang dilakukan oleh PPATK, layanan fintech rawan disusupi oleh pelaku pencucian uang dan pendanaan terorisme,” kata Kiagus dalam Pertemuan Tahunan PPATK 2018 di Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Menurut dia, kerawanan ini salah satunya disebabkan oleh proses identifikasi dan verifikasi pengguna jasa belum berjalan sepenuhnya. Penggunaan mata uang virtual (virtual currency) seperti Bitcoin, merupakan hal-hal yang perlu diantisipasi.
Selama ini, lanjut dia, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan larangan penggunaan mata uang virtual dalam layanan fintech. Namun demikian standarisasi program anti pencucian uang dan pendanaan terorisme bagi layanan fintech masih perlu diberlakukan.
“PPATK bersama Bank Indonesia dan OJK juga aparat penegak hukum akan membentuk forum koordinasi untuk percepatan penetapan pengaturan dan pengawasan fintech,” pungkas Kiagus.