Manila — Pemerintah Filipina menepis keras spekulasi yang mengaitkan negaranya dengan pelatihan terorisme internasional menyusul penembakan massal di Bondi Beach, Australia, yang menewaskan 15 orang pada Minggu (14/12/2025). Otoritas menegaskan tidak ada bukti yang menunjukkan Filipina menjadi lokasi persiapan aksi tersebut.
Isu ini mencuat setelah laporan menyebutkan dua pelaku penembakan, Sajid Akram dan Naveed Akram, sempat melakukan perjalanan ke Filipina sebelum menyerang. Namun, juru bicara Presiden Ferdinand Marcos Jr., Claire Castro, menyatakan tudingan tersebut bersifat spekulatif dan menyesatkan.
“Pemerintah dengan tegas menolak narasi yang menggambarkan Filipina sebagai pusat pelatihan ISIS atau kelompok teroris lainnya,” kata Castro dalam konferensi pers, Rabu (17/12/2025).
Castro menegaskan pernyataan itu sejalan dengan sikap resmi Dewan Keamanan Nasional Filipina. Hingga kini, kata dia, tidak ada informasi intelijen atau laporan kredibel yang membuktikan bahwa kedua pelaku menerima pelatihan terorisme selama berada di Filipina.
Data imigrasi memang mencatat Sajid dan Naveed masuk ke Filipina pada 1 November lalu dan mengunjungi Provinsi Davao di Pulau Mindanao. Kawasan ini kerap diasosiasikan dengan aktivitas kelompok bersenjata karena sejarah panjang konflik, termasuk keberadaan faksi yang pernah berafiliasi dengan ISIS.
Meski demikian, militer Filipina menilai kondisi keamanan Mindanao saat ini jauh berbeda dibanding beberapa tahun lalu. Juru bicara militer Filipina, Kolonel Francel Padilla, menyebut kemampuan operasional kelompok ekstremis di wilayah tersebut telah menurun signifikan.
“Sejak awal 2024, kami tidak mencatat adanya operasi teror besar maupun aktivitas pelatihan bersenjata,” ujar Padilla, merujuk pada situasi pasca-pengepungan Marawi pada 2017 yang menjadi titik balik operasi kontra-terorisme Filipina.
Pengepungan selama lima bulan itu menewaskan lebih dari 1.000 orang dan memaksa ratusan ribu warga mengungsi, sekaligus melemahkan jaringan kelompok Maute dan Abu Sayyaf yang terafiliasi ISIS.
Penilaian serupa disampaikan Kolonel Xerxes Trinidad. Menurutnya, durasi kunjungan kedua pelaku ke Filipina terlalu singkat untuk memungkinkan pelatihan militer atau terorisme yang terstruktur.
“Pelatihan bersenjata, termasuk penggunaan senjata api, tidak bisa dilakukan hanya dalam hitungan minggu,” kata Trinidad.
Namun, pandangan pemerintah dan militer tersebut tidak sepenuhnya menutup ruang kekhawatiran. Analis keamanan yang berbasis di Manila, Rommel Banlaoi, mengingatkan bahwa meskipun melemah, jaringan ekstremis di Mindanao belum sepenuhnya hilang.
“Tekanan aparat memang kuat, tetapi sebagian kelompok masih mempertahankan keberadaan mereka, termasuk melalui jaringan online dan koneksi global,” ujarnya. Kasus ini menempatkan Filipina di persimpangan antara upaya menjaga reputasi keamanan nasional dan kewaspadaan regional, di tengah meningkatnya sorotan internasional pasca-serangan teror di Australia.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!