Saat memasuki komplek serbaguna Polri di Cikeas, tepatnya di samping lapangan besar serbaguna, jika menoleh ke kanan, maka akan tampak sebuah gedung besar semi minimalis berlantai dua, “Rony Iskandar“ nama gedung itu. Bagi yang tidak kenal Rony Iskandar, tentu akan mengira Rony Iskandar yang namanya diabadikan menjadi nama gedung itu adalah seorang pejuang Polri tempo dulu. Dimana untuk mengenang kebesarannya, namanya kemudian diabadikan, sama seperti halnya Pejuang yang gugur melawan penjajahan Belanda dan Jepang tempo dulu. Atau bisa juga nama Rony Iskandar dikira sebagai salah satu nama sesepuh misalnya, pendiri salah satu matra polri, padahal bukan.
Nama Rony Iskandar begitu melekat khususnya bagi kesatuan Polri karena ia adalah bagian dari sejarah panjang penegakan hukum, utamanya pada penanganan hard approach dan do process of law terorisme di Indonesia. Lebih dari sekedar nama, “Rony Iskandar” adalah sebuah fenomena nyata tentang buah pahit dari sebuah operasi penyerbuan RPE (Raid Planning Execution) terhadap kelompok teroris di jalan Pulau Madura, Poso pada bulan Januari 2007. Rony Iskandar mungkin hanyalah seorang “pahlawan kecil” yang gugur ditembak oleh anggota kelompok teroris JI (Jamaah Islamiyah) dalam rangka menguak mata rantai teror oleh JI di tanah air.
Nama pahlawan kecil itu mungkin pula telah tenggelam dibalik kebesaran nama-nama pahlawan seniornya. Rony Iskandar memang masih menyandang pangkat rendah, ia hanyalah seorang Briptu, itupun briptu anumerta karena gugur di medan tugas. Ia seorang bintara bribda yàng baru keluar dari pendidikan Secaba Brimob Polri. Namun nama nya kemudian diabadikan sebagai nama sebuah gedung di markas Polri karena ia adalah pucuk pengingat akan sebuah fenomena penanganan terorisme yang membutuhkan bukan saja nyali dan strategi, tetapi juga keikhlasan untuk berkorban demi negeri.
Karenanya tentu Rony Iskandar tidak sendirian, ada banyak Rony-Rony lain yang ditembak saat berpatroli. Ada rony lain dalam wujud polisi lalu lintas yang sedang melaksanakan penjàgaan dàn penertiban kemacetàn lalu meninggal karena diserang kelompok teroris. Ada pula sosok Rony yang sedang melaksanakan pengamanan di bank lalu tiba-tiba diberondong peluru, ditèmbaki teroris.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kelompok teroris memiliki dendam kesumat terhadap polisi, khususnya Densus 88 yang selama ini aktif menggunduli kelompok mereka dengan berbagai tindakan penegakan hukum. Namun tentu hal ini tidak pernah sedikitpun menciutkan tekad aparat untuk membasmi terorisme, karena terorisme adalah musuh peradaban dan kemanusiaan.
Semua Serangan Terorisme Berlatar Belakang Dendam
Serangan teroris yang terjadi di Indonesia sesungguhnya telah ada sejak awal negeri ini merdeka, dan hampir semuanya dilatar belakangi oleh dendam. Hal tersebut terpapaer jelas dari seluruh proses persidangan yang digelar, dimana kelompok teroris masih menyimpan keinginan untuk merubah idiologi negara. Tentu saja keinginan itu berbenturan dengan negara. Adalah sebuah fakta bahwa tidak pernah terjadi dimana negara kalah dengan terorisme. Negara akan selalu mengerahkan segenap kekuatannya untuk memelihara keamanan masyarakatnya. Dengan sekuat tenaga negara akan menghentikan terorisme yang merupakan virus yang merusak kedamaian.
Hampir di seluruh dunia, negara dapat menaklukan terorisme dengan pertama; kekuatan hukum melalui kepolisian atau dengan militer yang bersenjata lengkap. Selanjutnya melaksanakan proses peradilan dengan hukuman maksimal, pendekatan ini termasuk dalam pendekatan “hard aproach”. Kedua; yaitu dengan pendekatan kerjasama atau “Collaboration Aproach”, yakni negara-negara yang pernah menjadi korban serangan terorisme dipastikan akan menggadeng negara-negara sahabatnya untuk bersama-sama memerangi terorisme. Logikanya, terorisme adalah organisasi bawah tanah yang mengandalkan kekuatan sel dan jaringan. Jaringan mereka dipastikan tidak hanya berada di negaranya sendiri. Mereka memiliki sel yang berada di negara lain yang se-idiologi dengan mereka.
Mereka bergerak, contohnya saja Alqaedah, tidak hanya di Afganistan, mereka juga memiliki sel aktif dan kaki-kaki di Asia Tenggara seperti yang terlihat dalam rupa JI. Mereka stateless alias tanpa negara, mereka bisa dimana saja. Para anggotanya juga memiliki banyak nama alias atau AKA (as known as). Negara bagi mereka tidak ada batasnya (borderless). Mereka melintas dari satu negara ke negara lain secara clandestein dibantu oleh sel jaringan sahabat yang ada di negara tujuan. Sebagai konsekuensinya harus ada kerjasama dan kolaborasi regional dan global antar negara untuk memerangi terorisme. Di dalam negeri, karena banyak faktor penyebab lahirnya teroris mulai dari kesenjangan ideologi, sosial, ekonomi, hingga pendidikan, maka kerjasama yang terjalin harus terintegrasi antar kementerian lembaga.
Ketiga; walau masih banyak pro dan kontra, utamanya di negara-negara maju, pendekatan “soft approach” terhadap para nara pidana, baik yang masih di dalam penjara maupun yang sudah selesai menjalani masa hukuman tetap diperlukan. Hal ini diperlukan dalam rangka menurunkan atau menghilangkan radikalisme para teroris. Proses radikalisme harus direduksi dengan program yang disebut deradikalisasi. Stigma yang menempel terhadap eks-teroris, keluarga teroris, dan ustadz teroris harus dihilangkan dengan program rehabilitasi. Penamaan red code atau red zone untuk daerah yang didiami oleh banyak teroris juga harus dihilangkan. Hal yang harus dilakukan dalam soft aproach adalah dengan identifikasi kelompok dan jaringan, konseling untuk melihat hubungan keterpengaruhan terhadap interaksi, rencana aksi dan pelaksanaan yang melibatkan berbagai ahli seperti; psikologi, kriminologi dan bila diperlukan ahli yang lain seperti ahli budaya.
Sangat dimengerti bahwa setiap negara memiliki pedoman menjalankan penegakan hukum sendiri. Setiap negara mempunyai sistem ketatanegaraan dan basis Idiologi tersendiri. Do process of law-nya pun pasti berbeda. Jika di negara lain ada sistem hukum anglo saxon atau common law, maka di Negara lain ada pula sistem yang berbasis pada hokum agama, ada yang mendasarkan hukum agama dan syariah, ada komunis, ada sosialis, ada juga yang dengan model Eropa kontinental. Bagaimana dengan Indonesia? Negara Indonesia adalah negara yang menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental dimana pembentukan hukum dimulai dari sistem kodifikasi (dibukukan), sementara Idiologinya menganut Idiologi yang sangat demokratis dan menampung keberagaman, yaitu Pancasila. Karenanya sulit bagi kelompok Idiologis kekerasan pro agama yang mendegradasikan ayat dan hadist untuk menggiring bangsa Indonesia dengan idiologi agama tertentu dengan cara yang sesat pula. Semua agama terakomodir dengan baik dan bebas. Sungguh pun di negeri ini mayoritas penduduknya adalah Muslim, namun agama lain mempunyai ruang gerak yang sangat bebas.
Sungguh berat tugas negara untuk melaksanakan tugas yang secara simultan harus dilaksanakan. Satu sisi harus melaksanakan penegakan hukum yang tegas, keras, dan terukur, namun di sisi lain harus bisa mereduksi, menghilangkan serta menurunkan kadar dan tensi radikalisme yang ada baik di dalam maupun di luar penjara, serta di lingkungan keluarga dan masyarakat dengan sangat soft. Proses penyadaran masyarakat, sosialisasi dan penggalangan harus dilakukan bersama. Belum lagi perlunya menerapkan pola kerjasama antar kementerian dan lembaga negara dan antar negara sahabat. Hampir semua tahapan kerja itu mengandung resiko. Negara tidak mau ada lagi ada Rony Iskandar- Rony Iskandar yang lain. Negara harus cerdas, kuat, dan tangguh agar kedamaian dan kesejahteraan dapat diwujudkan dengan baik.
Bersama Cegah Terorisme!