Jakarta – Aksi teror yang dilakukan sendiri (lone wolf) tengah mengganggu kehidupan damai di Bumi Pertiwi. Tercatat, tiga aksi lone wolf terjadi di tahun 2016 ini. Diawali aksi penyerangan Mapolresta Solo, kemudian penyerangan pendeta di sebuah gereja di Medan, dan terakhir penyerangan petugas kepolisian di Tangerang.
Aksi lone wolf itu terjadi tidak lepas dari keberadaam media sosial, seiring kemajuan teknologi informasi melalui internet. Kondisi inilah wajib diwaspadai oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia, dalam menangkal penyebaran paham radikalisme dan terorisme.
“Para pelaku lone wolf itu dibentuk melalui media sosial. Untuk menjadi radikal, mereka tidak perlu bertemu seseorang atau kelompok serta tidak perlu datang ke suatu tempat untuk berbaiat. Tapi cukup melalui gadget, mereka bisa teradikalisasi,” ungkap pengamat terorisme Irjen Pol (purn) Drs. Ansyaad Mbai, MM di Jakarta, Selasa (25/10/2016).
Ansyaad memaparkan, kelompok radikal sangat lihai memainkan propagandanya melalui media sosial atau dunia maya. Mereka ‘menjerat’ pengikutnya dengan meracuni pemikiran mereka dengan diberikan tayangan video kejadian mengerikan di Timur Tengah. Salah satunya video yang dilakukan Amerika Serikat, Nato, dan sekutu lainnya, yang menindas dan membantai kelompok radikal yang mengklaim sebagai umat muslim. Dari situ timbul rasa empati, dan secara perlahan mulai terjadi self radicalization, yang kemudian menumbuhkan motivasi menjadi lone wolf.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pertama ini juga menjelaskan, terjadinya lone wolf ini tidak lepas dari banyak terungkapnya aksi-aksi terorisme yang dilakukan secara berkelompok. Mereka berpikir aksi kelompok akan lebih mudah dideteksi aparat keamanan, dibandingkan dengan aksi sendirian.
Untuk mendeteksi sekaligus mencegah terjadinya lone wolf, Ansyaad menegaskan agar upaya-upaya penindakan secara fisik harus lebih digencarkan. Juga agar diwaspadai para jihadis dan FTF (Foreign Terrorist Fighter), para pengikut ISIS asal Indonesia yang pulang dari Suriah dan Irak.
“Dari informasi yang saya dapat, sudah lebih dari 50 FTF yang kembali ke Indonesia. Tapi yang baru ditangani pengadilan baru 11 orang. Sisanya kemana?” ungkap mantan Kapolda Sumatera Utara ini.
Upaya lainnya dengan mengimbau kepada keluarga dan masyarakat agar memproteksi lingkungan dari penyebaran paham radikal. Menurutnya, ciri paham radikal paling menonjol adalah ucapan mereka yang mengkafir-kafirkan orang lain serta menyerukan jihad.
Dalam hal ini, Ansyaad menilai, peran ulama sangat vital karena itu menyangkut pemahaman agama. Karena itu ia mengimbau agar ulama lebih proaktif menyebarkan pemahaman agama islam yang rahmatan lil alamin dan islam moderat ke tengah masyarakat. Langkah itu harus didukung penguatan kerjasama dari berbagai lembaga pemerintah terkait seperti BNPT, Polri, TNI, Kementrian Agama, dan lain-lain, dengan organisasi masyarakat yaitu MUI, NU, Muhammadiyah.
“Semua itu perlu dikristalisasi dalam sebuah Undang-Undang Anti Terorisme. Selama ini Polri selalu terbentur dengan UU dalam menindak pelaku provokasi dan berdakwah radikalisme dan terorisme, mengkafir-kafirkan orang, serta SARA. Saya optimis bila UU Terorisme itu sudah disahkan, kita tidak akan mudah kecolongan aksi-aksi terorisme,” tukas Ansyaad Mbai.