Fenomena Gunung Es: Rekrutmen Anak oleh Kelompok Teroris Diprediksi Lebih Banyak

Jakarta – Mantan Kepala Densus 88 Antiteror Polri, Komjen Martinus Hukom, menilai temuan Densus 88 mengenai 110 anak dan pelajar di Indonesia yang direkrut kelompok teroris melalui media sosial dan gim online sepanjang tahun 2025 hanyalah fenomena “gunung es”. Ia meyakini jumlah sebenarnya jauh lebih besar karena banyak kasus tidak terdeteksi.

Martinus menjelaskan bahwa ekosistem digital saat ini berkembang sangat cepat. Algoritma platform media sosial kini mengikuti pola perilaku pengguna anak dan remaja, sehingga konten yang mereka terima semakin terpersonalisasi. Selain itu, ruang digital tidak lagi hanya berbentuk media sosial konvensional, tetapi juga merambah ke gim online yang kini menjadi sarana komunikasi baru.

“Kalau didalami, mungkin jumlahnya jauh lebih banyak. Temuan 100 lebih itu hanya puncaknya saja. Media sosial hari ini masif sekali,” ujar Martinus, dikutip dari Beritasatu.com, Rabu (19/11/2025).

Ia memaparkan bahwa ketika dirinya menjabat sebagai Kadensus 88 pada 2020–2023, praktik penyebaran radikalisme masih terpusat pada platform seperti Telegram. Namun kini, variasi platform kian luas sehingga tugas penindakan dan pemantauan menjadi semakin kompleks.

Menurut Martinus, penyedia platform digital mengembangkan algoritma yang mempelajari minat anak-anak, sehingga perilaku mereka di ruang maya kerap berkembang ke arah komunikasi melalui gim online. Alhasil, gim tidak lagi sekadar tempat bermain, tetapi juga kanal interaksi yang dapat dimanfaatkan kelompok radikal.

“Gim online sekarang bukan hanya soal kreativitas bermain, tapi juga menjadi sarana komunikasi. Ini yang membuat anak-anak semakin tenggelam dalam dunia digital,” jelasnya.

Martinus juga menekankan bahwa ada perubahan pola pencarian otoritas moral pada anak. Di usia 0–5 tahun, mereka mencari figur moral dari keluarga. Namun memasuki usia 5–12 tahun, ruang permainan menjadi tempat baru bagi mereka membangun panduan moral. Di titik inilah platform digital turut mengambil peran sebagai “otoritas moral baru”.

“Harus dipahami bahwa patron moral lain kini hadir dan dekat dengan anak-anak kita lewat platform digital,” katanya.

Untuk itu, Martinus menilai diperlukan pengawasan yang jauh lebih ketat terhadap ruang digital, baik melalui regulasi pemerintah maupun pendampingan langsung dari orang tua. Ia mengingatkan bahwa dunia maya dapat membentuk moral anak secara sepihak, yang belum tentu sesuai nilai-nilai yang seharusnya.

“Jangan sampai anak-anak masuk ke ruang digital lalu terpengaruh moralnya, apalagi jika mereka berinteraksi dengan kelompok radikal,” tegasnya