Jakarta – Perekrutan anak-anak ke dalam jaringan terorisme dinilai masih belum meluas, karena masih di lingkup keluarga terduga ataupun terpidana kasus terorisme. Meski begitu, pencegahan harus dilakukan melalui fatwa ulama.
Pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, keterlibatan anak-anak dalam kasus terorisme terjadi karena kelompok tersebut sulit untuk menarik anggota baru. Akhirnya mereka merekrut anggota keluarga mereka sendiri yang masih di bawah umur.
“Saat ini banyak orang tuanya sudah kehilangan sumber daya untuk menarik dari jemaah yang lain. Akhirnya mereka mempergunakan sumber daya rumah sendiri, dan seharusnya itu tak perlu dilakukan,” kata Al Chaidar, seperti dikutip dari BBC Indonesia, Rabu (15/3/2017).
Di sisi lain, melibatkan anak-anak itu, mereka ingin mengajak anak-anaknya mengikuti jihad. “Mereka ingin mengajak anak-anak itu karena kepercayaan yang dianut. Ikut di dalam usaha membantu orang tuanya dalam upaya membawa keluarganya ke dalam surga. Ada kepercayaan psikologis yang sangat kuat, kalau ada keterlibatan anak-anak itu akan lebih bagus lagi,” jelasnya.
Meski melibatkan anak-anak ini masih ‘terbatas’ di kalangan keluarga terduga pelaku teror, menurut Al Chaidar, harus dilakukan pencegahan agar tidak meluas. Upaya pencegahan, dapat dilakukan dengan melibatkan ulama atau fatwa untuk mengharamkan pelibatan anak-anak dalam jaringan terorisme oleh Majelis Ulama Indonesia.
“MUI harus terlibat dalam pelibatan anak-anak itu, karena jelas ayat-ayatnya melarang kan. Memang tidak ada jaminan 100% efektif, kita harus mengajak pemimpinnya yaitu Ustad Aman Abdurahman untuk bersama-sama mengeluarkan keputusan atau fatwa yang menyatakan jihad tak boleh melibatkan anak-anak tapi itu akan sulit, ” kata Al Chaidar.
Melibatkan keluarga terdekat termasuk anak-anak menunjukkan pengaruh kelompok teror melemah. Dia menilai jaringan terorisme di Indonesia tak lagi memiliki kekuatan teknologi, modal, dan keterampilan. (AT)