Fatwa MUI No 24 Tahun 2017 Dibuat Agar Medsos Tak Rusak Masyarakat

Jakarta – Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial merupakan bagian dari ikhtiar (usaha) agar media sosial tidak menjadi faktor “destruksi” (merusak) sosial masyarakat. Hal itu dikemukakan Ketua PBNU Bidang Hukum Robikin Emhas di Jakarta, Rabu (7/6/2016).

Menurut Robikin, jika faktor “destruksi” sosial dari medsos tidak dicegah, maka bisa menurunkan “kohesivitas” (keinginan untuk mempertahankan) kebangsaan masyarakat Indonesia. “Yang dilakukan MUI adalah bagian dari ikhtiar agar medsos tidak menjadi faktor destruksi sosial,” katanya.

Sebagaimana diketahui dalam Fatwa MUI tersebut diantaranya dinyatakan haram bagi setiap muslim dalam beraktivitas di media sosial melakukan “ghibah” (menggunjing), fitnah (menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran), adu domba (namimah), dan penyebaran permusuhan.

Fatwa tersebut mengharamkan setiap muslim melakukan “bullying”, ujaran kebencian dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.

Fatwa itu juga mengharamkan bagi setiap muslim untuk menyebarkan “hoax” serta informasi bohong, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan dan segala hal yang terlarang secara syari dan menyebarkan konten yang benar namun tidak sesuai tempat dan waktu.

Fatwa menyatakan, memproduksi, menyebarkan dan atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat, hukumnya haram.

Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan syari.

MUI menyatakan, haram memproduksi dan menyebarkan konten informasi yang bertujuan membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.

Selain itu, menyebarkan konten pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.

Begitu pula aktivitas “buzzer” di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun nonekonomi hukumnya haram, termasuk didalamnya orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.