Jakarta – Facebook, Google, dan Twitter memperluas basis data terkait konten dan jenis kelompok terorisme dan ekstrimis. Langkah ini menyasar kelompok teroris seperti Al-Qaeda dan Taliban, serta milisi sayap kanan dan pro supremasi kulit putih.
Perluasan basis data itu akan dilakukan oleh organisasi kontra terorisme yang didirikan oleh Facebook, Google, dan Twitter yakni Global Internet Forum to Counter Terrorism (GIFCT). Penguatan dilakukan dalam beberapa bulan.
GIFCT mempunyai basis data seperti sidik jari digital, video, dan gambar terkait kelompok teroris berdasarkan daftar sanksi terkonsolidasi Dewan Keamanan PBB.
Organisasi ini bakal menambahkan konten manifesto penyerangan yang sering dibagikan oleh kelompok pro supremasi kulit putih. Selain itu, memasukkan konten publikasi dan tautan lain yang terkait ke basis data baru. Selain memperluas basis data, GIFCT menambahkan jenis konten seperti file audio atau simbol tertentu dari organisasi terlarang.
Platform milik Facebook, Google, dan Twitter yang berjumlah 14 bisa berbagi kode enkripsi atau hash sebagai representasi numerik unik dari konten asli. Mereka juga dapat mengidentifikasi konten untuk meninjau atau memblokir.
GIFCT pun menjaring lebih banyak platform untuk berbagi data. Baru-baru ini, perusahaan jaringan properti, Airbnb dan di bidang pemasaran email, Mailchimp menjadi anggota.
Direktur Eksekutif GIFCT Nicholas Rasmussen mengatakan, berbagai upaya itu bertujuan mengurangi konten terorisme dan ekstremis di berbagai platform internet.
“Kami ingin memerangi ancaman yang lebih luas,” katanya dikutip dari Reuters, Selasa (26/7/2021).
Direktur Free Expression di Center for Democracy and Technology Emma Llanso menambahkan, upaya GIFCT itu bakal menambah sasaran jaringan ekstrimis yang diblokir. Selain itu, akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sumber daya pemblokiran konten.
Kelompok teroris yang diincar seperti Al-Qaeda dan Taliban. Selain itu, beberapa kelompok milisi sayap kanan yang diincar seperti Proud Boys, Three Percenters, dan neo-Nazi.
Facebook, Google, dan Twitter kerap kali dikritik karena gagal mengawasi konten kekerasan dari ekstremis. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, ada beberapa masalah ekstremis domestik seperti supremasi kulit putih dan kelompok milisi yang semakin panas setelah kerusuhan di Gedung Capitol, Washington pada awal tahun ini.
Saat itu, pendukung mantan Presiden AS Donald Trump menyerbu Gedung Capitol dan memicu kerusuhan. Anggota Parlemen dan Senat yang semula dijadwalkan menggelar sidang pengukuhan kemenangan Joe Biden, terpaksa dievakuasi.