Etika Berdemokrasi Untuk Mewujudkan Kebebasan Tanpa Kebablasan

Jakarta – Jelang tahun 2024, situasi perpolitikan Indonesia kian memanas. Belakangan, kita bisa menyaksikan bagaimana seorang Rocky Gerung melancarkan kritik ke pemerintah yang menurut sebagian pihak tidak sesuai dengan nilai kesantunan bangsa Indonesia. Kebebasan berdemokrasi warga negara Indonesia sepatutnya dilakukan sesuai dengan norma, nilai, dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Pengamat politik yang juga aktif sebagai akademisi, Prof. Sri Yunanto, M.Si., PhD., menilai bahwa seorang public figure yang bicara di depan umum, seharusnya menyadari bahwa ia punya tanggung jawab yang lebih besar dalam memilih diksi untuk menyampaikan pikirannya. Norma dan nilai yang berlaku di masyarakat selayaknya menjadi acuan moralitas siapapun dalam bersikap, apalagi jika ia menjadi panutan banyak orang.

“Jika dalam menyampaikan pendapat dilakukan tidak dengan beretika, bukan hanya bangsa ini nanti tidak menjadi bangsa yang beradab dan bermoral, tapi juga akan berpotensi menimbulkan konflik. Ungkapan-ungkapan tidak etis bisa saja menyulut emosi seseorang. Mungkin orang yang menjadi sasaran pembicaraan bisa saja terima dengan lapang dada, tapi apakah pengikutnya punya kemampuan yang sama?” ujar Prof. Dr. Sri Yunanto di Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Dirinya mengkhawatirkan, jika tidakan tidak beretika itu tidak diproses melalui jalur hukum, bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari. Siapapun bisa saja mengatakan kalimat yang yang penuh diksi penghinaan, baik pada Presiden saat ini, Calon Presiden, ataupun Presiden selanjutnya, berdasarkan ketidaksukaannya, kemudian dibiarkan begitu saja.

“Jadi jangan sampai apa yang disampaikan jadi preseden, kemudian ada anggapan bahwa menyampaikan kritik bisa menggunakan kata-kata yang begitu jorok dan kasar. ‘Rocky Gerung saja tidak diproses hukum, berarti saya juga boleh dong berbuat demikian.’ Anggapan seperti ini kan bahaya sekali,” jelas Prof. Sri Yunanto.

Ia menjelaskan bahwa perspektif hukum itu tidak boleh dipersepsikan atau ditafsirkan menurut kemauan sendiri. Misalnya, jika ada benda yang disebut dengan “gelas,” itu berarti persepsi masyarakat memang menyebutnya sebagai “gelas.”

“Lalu dengan menafsirkan sendiri, kemudian ada orang yang mengatakan bahwa ini bukan ‘gelas,’ Ini adalah ‘bola’. Bersikukuh memiliki persepsi yang sangat jauh dari pandangan umum. Pada proses hukum, nantinya akan diuji persepsi tersebut. Menurut orang lain, jaksa, pengacara, dan saksi ahli akan diminta pendapatnya. Akhirnya, hakim lah yang berhak memutuskan bahwa barang ini adalah ‘gelas,’ bukan ‘bola,’ tambah Prof. Sri Yunanto

Ia lalu menjelaskan, apakah ungkapan tertentu dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik atau tidak, itu nanti hukum yang menentukan. Mulai dari tahap yang paling awal, misalnya verifikasi, penyelidikan, penyidikan, kemudian dilaporkan menjadi BAP (Berita Acara Pemeriksaan). BAP nanti disidangkan dan dituntut oleh jaksa.

Menrutnya, proses hukum ini sebenarnya dilakukan untuk mencapai kebenaran. Apakah benar seseorang yang dituduh mencemarkan nama baik, melakukan ujaran kebencian, atau menistakan agama, itu memang melakukan hal tersebut? Ini yang perlu dibuktikan melalui jalur hukum.

Ia menambahkan, Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi dalam perpolitikannya. Demokrasi berarti kekuasaan tertinggi sejatinya ada di tangan rakyat, yang juga berarti bahwa siapapun bebas menyatakan opininya. Namun, perlu dipahami bahwa demokrasi yang dianut memiliki batasan tertentu sehingga rakyat yang memiliki kebebasan berpendapat tidak menabrak norma atau hukum yang telah disepakati.

“Seperti halnya dengan radikalisme. Kita harus pahami dulu, radikalisme harus ditanggulangi jika mengacu pada Undang-Undang nomor 5 tahun 2018. Pemahaman radikal yang sarat dengan kekerasan ini bisa merusak persatuan Indonesia. Gerakan intoleran yang biasanya mengusung sistem politik lain untuk menggantikan Pancasila ini jelas saja tidak sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku,” terang Prof. Sri Yunanto.

Norma dan hukum yang menjadi batasan terhadap kebebasan berpendapat, menurutnya, justru diciptakan demi melindungi kepentingan umum yang berdampak bagi hidup banyak orang. Kebebasan yang ada jangan sampai menerjang kesepakatan masyarakat, ketentuan dan ideologi negara, serta keselamatan seluruh rakyat Indonesia.

“Segala kegiatan yang mendorong pada kekerasan termasuk terorisme, menodai kebhinekaan dengan mengobarkan intoleransi, merusak rumah ibadah, atau tindak pidana lainnya tentunya dapat mengancam kebebasan orang lain dan justru mencederai demokrasi itu sendiri,” imbuh Prof. Sri Yunanto

Prof. Sri Yunanto memberikan kesimpulan bahwa segala hal yang dilakukan Pemerintah tidak lepas dari kepentingan untuk menyejahterakan rakyatnya. Pemerintah yang jelas tidak luput dari kesalahan, adalah hal yang wajar jika ada dari rakyatnya yang menyampaikan kritik. Sudah semestinya kritik yang disampaikan tertuju pada kekurangan dari kebijakan atau pencapaian yang Pemerintah lakukan, didukung oleh bukti yang otentik dan tidak asal bicara.

“Setiap pemerintah di seluruh negara itu punya tujuan, misi, dan kegiatannya masing-masing. Jika dalam mencapai segala tujuannya itu dirasa ada kekurangan, baik itu tidak atau belum dilaksanakan, maka sah-sah saja itu dikritik. Misalnya pemerintah melakukan suatu kekurangan, silahkan saja untuk dikritik. Namun perlu diingat bahwa yang disebut sebagai kekurangan tadi itu berdasarkan fakta, bukan hanya berasal dari pikiran seorang,” tandas Prof. Sri Yunanto.