Eks Napiter: Radikalisasi Berawal dari Fase Pencarian Jati Diri Anak Muda

Eks Napiter: Radikalisasi Berawal dari Fase Pencarian Jati Diri Anak Muda

Surabaya — Mantan narapidana terorisme (napiter) ISIS, Arief Fathoni, mengingatkan bahwa proses radikalisasi kerap berawal dari fase pencarian jati diri anak muda yang tidak disadari oleh lingkungan terdekat, termasuk keluarga dan sekolah. Pengalaman pribadinya menjadi bukti bahwa radikalisme tidak selalu masuk melalui kekerasan, melainkan melalui keraguan ideologis yang ditanamkan secara perlahan.

Hal itu disampaikan Fathoni saat menjadi narasumber Dialog Kebangsaan bersama Satuan Pendidikan di Surabaya, Kamis (18/12/2025).

Dalam testimoninya, Fathoni menegaskan peran strategis guru sebagai benteng awal pencegahan. Menurutnya, dunia pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga generasi muda agar tidak terseret paham kekerasan yang dibungkus narasi keagamaan.

“Guru memikul tanggung jawab besar membangun masa depan bangsa. Di tangan guru, investasi terbesar negara ini ditanamkan,” ujar Fathoni.

Ia menceritakan, proses radikalisasi yang dialaminya bermula saat duduk di bangku kuliah. Pada fase tersebut, ia mengaku berada dalam kondisi lugu dan sedang mencari makna hidup. Kelompok radikal memanfaatkan situasi itu dengan pendekatan yang tampak sederhana, seperti ajakan belajar agama.

“Tidak ada yang langsung mengajak kekerasan. Yang ditanamkan pertama justru keraguan—termasuk mempertanyakan Pancasila dan negara,” katanya.

Menurut Fathoni, narasi yang mempertentangkan agama dan ideologi negara menjadi pintu awal yang membuatnya menjauh dari nilai kebangsaan. Ia menyebut kelompok radikal saat itu aktif membangun basis di lingkungan kampus, menguasai ruang-ruang diskusi mahasiswa, hingga memengaruhi organisasi kemahasiswaan dan tempat ibadah.

Proses tersebut, lanjutnya, berlangsung bertahap hingga akhirnya bermuara pada baiat kepada ISIS. Ia mengaku menjadi bagian dari jaringan yang menginisiasi baiat massal di Malang pada 2014, yang kemudian berdampak langsung pada rangkaian aksi teror di Indonesia.

“Baiat itu bukan simbolik. Konsekuensinya nyata—aksi kekerasan, penyerangan, dan teror yang kita saksikan bersama,” ujarnya.

Fathoni menuturkan, pengalaman hidupnya menjadi refleksi bahwa radikalisme tidak lahir dari satu faktor tunggal. Selain doktrin ideologis, kerentanan psikologis, kurangnya kontrol sosial, serta minimnya pendampingan dari lingkungan sekitar turut berperan besar.

Kini, setelah menjalani proses hukum dan deradikalisasi, Fathoni memilih kembali ke kehidupan masyarakat. Ia menekuni usaha peternakan, pertanian, hingga ekonomi desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Baginya, kembali ke nilai kebangsaan dan hidup berdampingan dalam keberagaman adalah bentuk pertanggungjawaban moral atas masa lalunya.

“NKRI itu nikmat. Dulu saya buta. Sekarang saya justru menemukan makna hidup dalam kebersamaan,” ucapnya.

Fathoni juga mengingatkan bahwa kelompok ekstrem tidak pernah benar-benar hilang, melainkan terus beradaptasi. Pola rekrutmen saat ini, menurutnya, semakin halus dan menyasar anak-anak melalui media sosial, gim daring, dan ruang virtual berbasis imajinasi.

“Radikalisme sekarang tidak terlihat. Masuk lewat dunia anak—game, media sosial, dan komunitas virtual. Kalau orang tua dan guru tidak hadir, anak bisa terseret tanpa disadari,” katanya.

Ia menekankan pentingnya membangun “barrier” psikologis bagi anak, mulai dari komunikasi yang terbuka, pemahaman karakter, hingga pengawasan aktivitas digital. Menurutnya, pencegahan radikalisasi harus dimulai jauh sebelum anak mengenal ideologi ekstrem. Dialog Kebangsaan ini menjadi bagian dari upaya BNPT memperkuat pencegahan berbasis pendidikan dan pengalaman nyata. Testimoni mantan pelaku diharapkan dapat menjadi pelajaran penting bahwa radikalisme bukan hanya ancaman keamanan, tetapi juga persoalan psikologis dan sosial yang membutuhkan kehadiran negara, sekolah, dan keluarga secara bersama-sama.