Lamongan – Eks pentolan teroris Jamaah Islamiyah (JI) dan adik kandung bomber Bom Bali, Ali Fauzi Manzi menorehkan prestasi yang menggembirakan. Pasalnya, setelah masa menjadi kombatan sampai ke Filipina, kemudian menjadi narapidana terorisme, lalu ikut program deradikalisasi.
Pada akhirnya, Ali Fauzi berhasil menghilangkan ideologi terorisme. Bahkan ia menjadi duta perdamaian dengan penggagas dibentuknya Yayasan Lingkar Perdamaian yang beranggota mantan-mantan napiter. Melalui yayasan itu, Ali Fauzi berhasil mengajak banyak eks napiter untuk kembali ke NKRI. Tidak hanya sekadar tobat, para eks napiter itu juga mampu kembali berbaur dan masyarakat.
Selain itu, Ali Fauzi juga memiliki pikiran cerdas. Ia juga kembali ke bangku kuliah. Ia menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Dan terkini, Ali Fauzi berhasil meraih gelar doktor atau S3 di Universitas Muhammadiyah Malang dengan predikat cumlaude.
Ali Fauzi mengambil jurusan doktoral pendidikan Islam. Ia menyebut, disertasinya memang berfokus pada subjek eks Napiter, mulai dari proses perekrutan, radikalisasi, hingga aksi penembakan dan pengeboman.
Disertasi Ali Fauzi itu berjudul “Edukasi Moderasi Beragama Bagi Para Mantan Narapidana Teroris, (Studi Fenomenologi Mantan Narapidana Teroris pada Yayasan Pendidikan ‘Lingkar Perdamaian’, di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan).
Didirikannya Yayasan Lingkar Perdamaian yang diampunya itu memiliki sejumlah tujuan khusus, di antaranya membawa pulang eks Napiter ke NKRI, membina Napiter di Lapas, memberdayakan Napiter melalui pelatihan life skill, serta memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak Napiter dan para janda yang ditinggal suaminya.
“Edukasi moderasi beragama ini bisa menyadarkan dan membuka pikiran Napiter. Pemaknaan Islam secara moderat dan humanis itu juga akan mampu menenangkan batin mantan napiter,” ujar Ali Fauzi, dikutip dari beritajatim.com, Jumat (27/1/2023).
Ali Fauzi menyoroti bahwa munculnya gerakan radikal fundamental yang berujung pada terorisme itu disebabkan oleh pemahaman teks terhadap Islam yang tidak sesuai dengan konteks negara Indonesia.
Menurut Ali Fauzi, karakter Islam yang rahmatan lil-alamin dan universal itu selalu mengajarkan perdamaian, keramahan dan tanpa adanya paksaan. Selain itu, sambungnya, ajaran-ajaran Islam itu bebas ditafsirkan sepanjang memenuhi persyaratan, sesuai dengan kaidah-kaidah fiqhiyah, serta dimaksudkan untuk kemaslahatan.
“Seringkali penafsiran ajaran Islam yang sangat fundamental dan radikal itu mengundang kontroversi di kalangan umum atau Islam mainstream, yang kemudian menjurus terhadap munculnya radikalisme dan bahkan melahirkan terorisme,” terangnya.
Oleh karenanya, pria kelahiran 1971 ini berpandangan, edukasi moderasi beragama ini adalah cara yang tepat untuk menangkal radikalisme dan terorisme. Selain itu, edukasi moderasi beragama ini juga mampu memberdayakan dan menyadarkan mantan Napiter, seperti yang dilakukan oleh Yayasan Lingkar Perdamaian.
“Disertasi ini sebenarnya difokuskan untuk mengkaji individu (Napiter) yang mengalami, menyelami, memahami dan yang melakukan pengalaman tersebut. Teori substansi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi moderasi beragama, pendidikan moderasi, dan terorisme,” paparnya.
Sementara teori analisis yang digunakan dalam penelitian ini, Ali Fauzi menyebutkan bahwa pihaknya menggunakan teori sosial action (tindakan sosial, Max Weber) dan teori fenomenologi Moustakas. Lalu untuk metode penelitiannya, menggunakan paradigma definisi sosial, dengan pendekatan kualitatif.
Atas dilakukannya penelitian tersebut, tutur Ali Fauzi, ada beberapa kesimpulan yang didapatnya. Pertama, aksi terorisme dan ekstremisme yang mengorbankan orang yang tak bersalah adalah kekejaman yang luar biasa.
“Hal itu disebabkan oleh kedangkalan cara berIslam, tidak mempunyai pengalaman dalam Islam dan rendahnya intelektual. Sehingga mereka mudah dipengaruhi orang atau ustaz yang tidak sabar melihat realita kondisi Islam di Indonesia. Mereka terjerumus untuk melakukan kekerasan dan kekejaman,” bebernya.
Kesimpulan kedua, moderasi beragama mampu membuka pikiran dan kesadaran para Napiter akan hak-hak orang lain yang berbeda pemahaman dan agama di Indonesia. Dengan memahami edukasi moderasi beragama, para Napiter akan mampu memutus hubungan ideologi dengan komplotan teroris (disengagement).
Kesimpulan ketiga, Yayasan Lingkar Perdamaian sebagai wadah bagi para napiter telah sesuai dengan harapan dan permintaan napiter. Mereka merasa bertambah pengetahuannya tentang Islam.
“Setidaknya YLP telah membuka cakrawala pemikiran yang luas tentang Islam, baik masalah-masalah internal maupun eksternal dan bagaimana menyikapinya. Mereka (eks Napiter) merasa aman fisik dan batinnya karena disamping ada aparat keamanan yang mendampingi mereka, ada juga para ustaz, intelektual, dan psikolog yang mendorong mereka untuk jadi orang yang normal dan bijak di segala bidang,” jelasnya.
Ali Fauzi bersyukur, kini para napiter banyak yang telah menyadari kesalahan dan tindakan mereka yang merugikan pihak lain. Para eks Napiter banyak yang bersepakat untuk mengakhiri kekerasan dan aksi teror yang menimbulkan ketakutan semua pihak.
“Semoga apa yang saya lakukan hari ini bisa menginspirasi para eks Napiter lainnya untuk bersama-sama menjaga persaudaraan dan perdamaian, sekaligus menanamkan pandangan moderat kepada generasi penerus,” pungkasnya.