Eks Napiter JI dan ISIS Ungkapkan 5 Narasi Propaganda Kelompok Teroris
Untuk Rekrut Anggota

Pringsewu – Kelompok teroris memiliki strategi apik dalam melakukan
propaganda untuk mencari mangsa yang akan direktur menjadi anggota.
Mulai strategi dakwah sampai provokasi dilakukan untuk memantik minat
calon anggota yang pada puncaknya mereka akan melakukan aksi
terorisme.

Mantan narapidana teroris yang merupakan mantan kelompok teroris
Jamaah Islamiyah (JI) dan militan ISIS  Arif Budi Setiawan
mengungkapkan lima narasi propaganda yang sering digunakan untuk
merekrut anggota. Dalam menjadikan seseorang militan dalam
kelompoknya, narasi ini ditanamkan kepada para anggota melalui fase
ketertarikan, penyamaan persepsi, kesepakatan jalan perjuangan, dan
akhirnya pada fase ketaatan mutlak.

“Setidaknya ada lima narasi yang biasa dimainkan hingga seseorang itu
sampai pada tahapan mau melakukan sebuah tindakan radikal,” jelasnya
pada Sarasehan Kebangsaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Pringsewu yang digelar di Hotel Urban Pringsewu, Kamis (14/9/2023),
dikutip dari NU Online.

Level pertama adalah narasi propaganda dakwah. Narasi propaganda
dakwah yang disampaikan pada level ini masih sama dengan yang
disampaikan oleh gerakan-gerakan Islam yang lain, seperti : masalah
aqidah, syariah, mu’amalah, tata cara ibadah yang benar, dan
sejenisnya.

“Tapi dalam propaganda dakwah ini terkadang sudah muncul indikasi
‘bermasalah’, yaitu ketika mulai mengajarkan klaim sebagai kelompok
yang paling benar,” ungkapnya.

Level kedua adalah narasi kegelisahan atau penderitaan yang dialami
umat Islam. Pada level narasi ini, disampaikan kondisi umat Islam yang
sedang tertindas dan menderita di mana-mana. Di antaranya konflik
berkepanjangan, pembantaian, kebodohan dan kemiskinan yang merajalela,
terusir dari negerinya, dan sebagainya.

“Dari pemaparan itu diharapkan para pengikut atau binaannnya menjadi
tergugah rasa ingin memperjuangkan Islam dan kaum Muslimin,”
ungkapnya.

Level ketiga adalah narasi bahwa penyebab kegelisahan atau penderitaan
umat Islam adalah karena ulah musuh-musuh Islam. Pada tahapan ini
mulai ditanamkan bahwa semua bentuk penderitaan umat Islam disebabkan
oleh ulah musuh-musuh Islam yang tidak suka bila Islam berjaya.

Dalam level ini juga dikembangkan narasi bahwa Umat islam mengalami
kemunduran karena tidak menjalankan kehidupan sesuai syariat Islam dan
malah mengikuti aturan kehidupan di luar ajaran Islam yang terjadi
karena kuatnya cengkraman hegemoni kekuasaan musuh-musuh Islam.

“Dari sini diharapkan muncul semangat perjuangan untuk meruntuhkan
sistem yang terbukti membuat umat Islam menderita,” ungkap Arif.

Level keempat adalah narasi perlawanan. Pada level ini dimunculkan
pemikiran bahwa satu-satunya jalan membebaskan umat Islam dari
penderitaan adalah dengan mulai memerangi musuh-musuh Islam dengan
kekuatan yang ada.

“Jika pada narasi-narasi sebelumnya seseorang masih punya pilihan
jalan lain, maka pada narasi ini sudah tidak lagi pilihan lain.
Akibatnya orang yang meyakininya akan menganggap semua jalan
perjuangan yang selainnya adalah salah,” jelasnya

Orang yang sudah sampai pada pemikiran seperti ini cenderung akan
selalu berpikiran sempit dan mudah terprovokasi, sehingga mudah
menerima doktrin.

Adapun level narasi kelima adalah provokasi melakukan aksi. Pada
tahapan ini, seseorang yang telah meyakini bahwa melakukan perlawanan
adalah satu-satunya solusi. Tinggal diprovokasi sedikit lagi maka ia
akan berubah dari sekedar berpemikiran radikal menjadi pelaku aksi
terorisme.

Di antara contoh kalimat provokasi yang menurutnya sangat ampuh adalah
:“Lebih baik mati dalam keadaan melawan musuh daripada hidup terhina
dalam kekuasaan musuh”.

Narasi ini yang menurut Arif harus diwaspadai masyarakat agar tidak
terjerumus. Ia pun mengungkapkan pengalamannya terjerumus dalam
narasi-narasi ini yang ia harapkan diketahui masyarakat sehingga tidak
mengalami seperti yang ia alami. Terlebih saat ini menurutnya,
narasi-narasi seperti ini dengan mudah dapat ditemui di media sosial
yang jika tidak disadari akan mengarahkan kita kepada pemahaman yang
tidak moderat dan mudah terbawa untuk menjadi simpatisan ataupun
anggota kelompok teroris.