Jakarta – Media sosial telah menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan di era digital. Ironisnya, sosial media ini justru bisa menjadi ‘bumerang’ karena dijadikan lahan paling efektif kelompok radikal terorisme untuk melancarkan propaganda dan merekrut anggota.
Pernyataan itu diungkapkan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Drs. Hamidin saat memberikan pemaparan pada peserta Pelatihan Tingkat Lanjut Duta Damai Dunia Maya 2016 di Jakarta, Selasa (22/11/2016). Karena itu, ia meminta para duta damai dunia maya mampu berperan membantu BNPT dalam menyuarakan perdamaian di dunia maya, sekaligus meng-counter propaganda radikalisme di dunia.
“Duta damai harus proaktif memberikan kontribusi membantu BNPT dalam pencegahan terorisme melalui dunia maya. Karena itu duta damai harus memahami peran media, baik itu elektronik, cetak, dan media sosial dalam pencegahan terorisme,” kata Brigjen Hamidin.
Ia menjelaskan bahwa media bisa menjadi jalan bagi masyarakat untuk terlibat dalam kelompok terorisme. Yang paling dominan adalah sosial media yang sekarang ini kian marak sesuai tuntutan jaman. Media ada dua kategori yaitu media sosial dan sosial media. Media sosial diketahui menjadi sumber pemberitaan seperti koran, radio, televisi, dan portal online. Media sosial ada pola-pola tertentu dibaca dan dinonton, sedangkan sosial media dikenal seperti Facebook, Twitter, Instagram, blog, dan lainnya.
Berbicara media, lanjut Brigjen Hamidin, ada beberapa proses yang terjadi. Pertama glorifikasi, seperti yang dilakukan media membesarkan nama Santoso. “Dari tiga teroris Poso, Basri, Ali Kalora, dan Santoso, sebenarnya Santoso itu tidak ada apa-apanya, bahkan Basri itu preman. Tapi media membuat proses glorifikasi luar biasa sehingga terus bergulir seperti bola salju dalam mengangkat nama Santoso. Akhirnya, ada ratusan orang Uighur yang terpengaruh dan ingin gabung Santoso,” papar Brigjen Hamidin.
Proses kedua, lanjut mantan Kapolres Jakarta Pusat ini, fabrikasi yaitu menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi seolah-olah ada. Contohnya, saat bom Thamrin, saat itu ada sebuah televisi yang memberitakan katanya ada banyak bom di Jakarta, padahal hanya di Thamrin saja.
“Pesan media ini sangat luar biasa karena bisa mempengaruhi masyarakat. Sebuah peristiwa bisa besar atau kecil tergantung media. Meski sudah ada dewan pers dan KPI, tapi itu tidak terlalu berpengaruh besar,” ungkap Hamidin.
Keberadaan media ini tentu saja harus diwaspadai dalam rekrutmen terorisme melalui chatting via internet. Menurut Brigjen saat ini ada istilah darknet dimana kalau masuk ke sana akan ad jutaan virus masuk. Dalam tata siber, ada dua hal yaitu internet dengan website dan darknet dengan darkweb.
“Di darknet susah memonitor pergerakan terorisme. Bagaimana mereka merekrut orang melalui facebook, bagaimana merekrut dari grup chatting, messenger. Di darknet bekerjanya beda dengan google. Begitu buka darknet tidak ada server. Begitu buka komputer kita jadi server sehingga dakrnet sangat sulit dikontrol pemerintah,” terangnya.
Fenomena media dan sosial media ini telah menjadikan pola rekrutmen terorisme bergeser. Jika dulu melalui pertemuan-pertemuan kecil, baru dilakukan doktrininasi dan rekrutmen. Kali ini rekrutmen dilakukan dengan menyebarkan doktininasi dan propaganda melalui media, utamanya sosial media.
“Jika dulu disumpah dulu baru direkrut jadi anggota, sekarang di negara maju, orang menjadi radikal tidak selamanya melalui sumpah (baiat), mereka disumpah (baiat) kalau sudah bergabung dalam kelompok,” ujarnya.
Karena itu, kata Hamidin, media berperan dalam mencegah terorisme. Media harusnya kerja sedetail-detail terkait aksi dan tokoh teroris. “Misalnya ada yang ditangkap, dia dianggap tokoh. Jangan diglofikasi seperti dia hebat sekali. Media cari tahu dengan banyak bertanya pada polisi. Sebetulnya dia siapa, latar belakangnya bagaimana, dan seperti apa. Dari data itu, kita bisa tahu orang ini menjadi radikal karena apa,” ucapnya.