Jakarta – Duta Damai Dunia Maya bentukan Pusat Media Damai (PMD) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus bisa meluruskan sejarah bangsa Indonesia, terutama bagaimana founding father bangsa Indonesia saat merumuskan dasar negara Pancasila. Itu penting agar orang-orang yang masih berniat mendirikan negara islam dan khilafah tahu bahwa Indonesia didirikan dari pondasi keragaman.
“Adik-adik duta damai dunia maya harus terus menggerakkan semangat perdamaian dan bhinneka tunggal ika di dunia maya. Juga harus banyak membaca literatur bagaimana dulu founding fathers bangsa Indonesia memilih Pancasila,” kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ir. Hamli saat membuka Pelatihan Tingkat Lanjut Duta Damai Dunia Maya 2017 di Jakarta, Senin (27/11/2017) malam.
Saat merumuskan dasar negara saat itu, lanjut Hamli, tidak hanya oleh tokoh nasionalis seperti Soekarno, Hatta, M Yamin, Supomo, dan lain-lain, tapi juga tokoh-tokoh agama seperti KH Wahid Hasyim, KH Agus Salim, Abikusno Cokrosuyoso, Ki Bagus Hadikoesoemo. Mereka adalah para tokoh Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, yang lebih tahu secara mendalam tentang agama islam.
“Mereka itu lebih islam dan lebih bertaqwa dibandingkan kita dan pemahamannya tentang islam sudah sangat dalam. Itu yang harus kita share kepada masyarakat dan teman-teman muda. Pemahaman ini harus diberikan kepada masyarakat, agar tidak ada keinginan mendirikan negara islam,” jelas Brigjen Hamli.
Pada kesempatan pria bersahaja kelahiran Surabaya itu mengungkapkan hasil survei nasional potensi radikalisme yang baru dirilis Senin siang. Survei itu dilakukan di 32 provinsi bersama dengan 32 Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT).
Menurutnya, dari tiga dimensi yang dijadikan dasar survei yaitu pemahaman, sikap, dan dimensi tindakan masyarakat terhadap radikalisme, didapat bahwa pemahaman masyarakat Indonesia tentang radikalisme masih tinggi yaitu 60,67 atau bisa dikategorikan B, untuk sikap 55.70, sedangkan tindakan 48.99.
“Itu artinya masyarakat Indonesia untuk pemahaman radikalnya masih cukup tinggi. Karena itu adik-adik yang bergerak di dunia siber harus terus memberikan pemahaman tentang bahaya radikalisme dan terus meramaikan dunia siber dengan perdamaian,” tutur Hamli.
Begitu juga dengan dari penelitian OECT. Dari 34 negara, literasi atau kemampuan membaca dan memahami radikalisme masyarakat Indonesia berada di posisi 34. Juga dalam penelitian Unesco, dari 70 negara, Indonesia diposisi 65.
“Menjadi sangat penting adik-adik ini buat Indonesia. Karena Anda bersama kami punya tanggungjawab untuk mencerdaskan masyarakat, memberitahu masyarakat, memberi pemahaman kepada msayarakat, ada hal positif yang harus kita tularkan. Apalagi kita tahu yang namanya hoax luar biasa,” tegas Hamli.
Dari situ, ungkap Brigjen Hamli, pemahaman itu menjadi sangat penting. Dengan memahami tentu bisa menjadi daya tangkal (imunitas) bagi masyarakat Indonesia untuk melawan radikalisme. Selain itu, dari hasil penelitian itu didapat faktor utama yang bisa mendukung imunitas itu adalah kearifan lokal dan kesejahteraan, disamping faktor-faktor lain. Oleh sebab itu menjadi penting kebijakan pemerintah harus mengarah pada dua hal itu, disamping hal lain.
“Biasanya kalau orang sejahtera lebih tahan untuk tidak radikal daripada orang yang tidak sejahtera. Juga biila kearifan lokal tinggi, seperti nilai ke-Indonesiaan kita kuat, Insha Allah potensi radikal akan turun,” pungkas Brigjen Hamli.