Dunia Pendidikan Harus Bersih Dari Propaganda Radikalisme

Jakarta – Propaganda paham radikalisme dan terorisme yang disusupkan melalui buku-buku pendidikan untuk murid Sekolah Dasar (SD) dan Taman Kanak-kanak (TK) harus dihentikan. Anak-anak adalah masa depan bangsa yang harus ‘bersih’ dari paham negatif seperti itu.

“Dunia pendidikan apalagi anak-anak harus benar-benar bersih dari hal-hal semacam itu. Jangan ada toleransi bagi pihak-pihak yang secara sengaja atau tidak melakukan propaganda radikalisme dan terorisme dengan menyusupkannya dalam buku-buku pelajaran. Ini sangat berbahaya karena anak kecil memiliki daya ingat abadi yang terbawa sampai dewasa,” kata Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (26/1/2016).

Atas dasar itulah, Prof Dede meminta bila memang terbukti adanya buku-buku pelajaran yang disisipi propaganda radikalisme atau bahkan terorisme, segera dilaporkan ke Kementerian Agama atau pihak berwenang lainnya. Menurutnya, saat ini Kementerian Agama telah diberi kewenangan untuk mengontrol konten buku-buku pelajaran agama.

“Segera laporkan bila menemukan bukti-bukti di lapangan agar nantinya bisa langsung ditindaklanjuti dan ditarik,” tukas Prof Dede.

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan dan sebagai bagian dari disiplin moderasi Islam Moderat yang inklusif dan moralis, Prof Dede mengaku sangat menentang dunia pendidikan dijadikan tempat propaganda radikalisme atau bahkan telorisme. Untuk itu ia mengajak seluruh insan pendidikan di Indonesia waspada dan mensterilkan lingkungan pendidikan dari paham-paham negatif tersebut.

“Langkah apapun kalau berurusan dengan radikalisme pasti tidak kami dukung dan tidak kami benarkan. Kami di UIN sangat mendukung moderasi Islam Moderat yaitu Islam yang rahmatan lil alamin. Pokoknya apapun namanya radikalisme itu, apakah dalam kontek agama, politik dan lain-lainnya, tetap sama saja niatnya merusak,” terang Prof Dede Rosyada.

Seperti diketahui, kampus UIN pernah kecolongan dengan dijadikan tempat berikrarnya para pendukung ISIS di awal keberadaan mereka di Indonesia tahun 2014 lalu. Sejak itu, Prof Dede langsung melakukan pembersihan besar-besaran sehingga saat ini UIN telah bebas dari berbagai ancaman dan penyebaran radikalisme.

Tidak hanya UIN, lanjut Prof Dede, hampir semua kampus UIN di Indonesia juga sudah bersih. Bahkan seluruh kampus UIN siap berada di garda terdepan dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme di Indonesia.

“Secara formal sudah tidak ada lagi dan tidak akan terjadi lagi propaganda radikalisme di kampus-kampus UIN. Bahkan tidak hanya UIN, hampir seluruh PTN di Indonesia sudah disiapkan ‘tameng’ untuk menangkal paham tersebut. Intinya kampus tidak toleran lagi dengan apa yang namanya radikalisme,” tegas Prof Dede.

Tapi, imbuh Dede, kalau ada gerakan invisible atau bawah tanah, tentu harus terus dicari. Bahkan pihaknya, akan melibatkan intelijen negara untuk menyelidikinya. Bagi yang terlibat, Pembantu Rektor III akan langsung bertindak. “Tidak ada tempat subur di kampus untuk berkembangnya radikalisme dan terorisme karena semua kurikulum sudah Islam Moderat semua,” tukasnya.

Terkait pergerakan kaum radikalisme dan terorisme akhir-akhir ini, Prof Dede menilai sebenarnya gerakan terorisme di Indonesia makin lemah. Bahkan ia menilai teror bom Thamrin itu menjadi bukti mereka makin frustasi.

“Mereka sudah ngawur dan tidak jelas. Bayangkan ngapain melakukan teror di warung kopi? Intinya mereka itu tidak cerdas dan seperti orang frustasi,” tandas Dede Rosyada.

Sebelumnya, Gerakan Pemuda (GP) Ansor menemukan buku-buku untuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Depok, Jawa Barat, serta di beberapa daerah di Indonesia mengandung kalimat-kalimat berisi ujaran terorisme dan radikalisme. Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Benny Ramdani membeberkan bahwa buku paket pelajaran tersebut berjudul “Anak Islam Suka Membaca” jilid 1,2,3,4, dan 5.

Buku-buku ini bisa disebut menanamkan benih-benih radikalisme sejak usia dini, karena diajarkan kepada anak-anak TK yang masih sangat polos. Apalagi penulis buku tersebut istri dari pimpinan kelompok radikal di Solo.