Dulu Keblinger Gabung ISIS di Suriah, Kini Eks Napiter Ini Aktif
Gaungkan Pesan Damai dan Antiradikalisme

Malang – Syahrul Munif (43 tahun) pernah keblinger dan bergabung
dengan kelompok teroris ISIS. Ia bahkan ikut bertempur di Suriah
akibat terkena doktrin khilafah. Namun apa yang ia dapatkan di Suriah,
semua janji khilafah yang diberikan ISIS hanya omong kosong belaka.
Dia justru mendapatkan kenyataan yang ia temui bukan Islam rahmatan
lil alami.

Pria asal Singosari Kabupaten Malang itu merupakan salah satu kader
yang berangkat bersama  rombongan Abu Jandal. Munif sapaan akrabnya,
dulu seorang aktivis salah satu organisasi kemahasiswaan ekstra
kampus.

Jiwa aktivis dan kepeduliannya  saat itu memang sedang berapi-api.
“Idealisme pemuda sebagai penggerak dan agen perubahan, terus melekat
dalam diri dan pikiran saya. Bahkan setelah saya membangun rumah
tangga dan dikaruniai seorang anak,” ceritanya dikutip dari laman
malangposcomedia.id.

Di tahun 2014, ia bertemu jamaah dari Abu Jandal. Kelompok tersebut
kemudian memberikan doktrin-doktrin terkait pembelaan HAM di Timur
Tengah. Idealisme yang dimilikinya, seolah mendorongnya untuk membela.
Terbesit di benaknya,  di sanalah ia seharusnya berada.

“Saya berangkat memang karena misi kemanusiaan waktu itu, saya
diberitahu untuk bergabung berjuang di Timur Tengah membela masyarakat
muslim di sana,” ungkapnya.

Ribuan alasan disipakannya untuk memuluskan jalan keberangkatannya ke
Suriah. Menyampaikan kepada  ibu dan istrinya, bahwa dia menjadi
relawan dan berjihad demi misi kemanusiaan. Ini terus disampaikannya,
untuk bisa meluluhkan hati keluarga tercintanya.

“Usaha itu akhirnya berhasil. Dan saya berangkat ke Jakarta  untuk
bergabung dengan kader lain dari berbagai daerah yang bersama menuju
ke Suriah,” kenang Munif.

Paspor dan kebutuhan administrasi lain memang telah ia siapkan sejak
hari-hari sebelumnya, sehingga keberangkatan jihadnya mulus sampai
tempat tujuan.

Saat sampai di sana, hal di luar dugaannya terjadi. Ia harus berjuang
beradaptasi dengan keringnya udara dan panasnya gurun pasir. Selain
itu, dia berlatih keras untuk bisa mengoperasikan senjata AK-47, untuk
melindungi diri dan menyerang musuh yang ditemui.

“AK-47 sudah seperti anak kami sendiri, bahkan kami setiap dua minggu
rutin membongkar dan membersihkan agar tidak macet,” ceritanya.

Suatu saat ia mendapatkan tugas untuk berpatroli di wilayah medan
perang. Saat berkeliling dengan satu timnya, seketika bau anyir
menusuk ke hidungnya. Dengan perasaan berdebar ia memberanikan diri
melihat sumber bau itu.

Hatinya bergetar, saat menyaksikan jasad dan potongan badan tertancap
di pagar dan senjata, yang ada di area tersebut. “Kekerasan seperti
pemenggalan, di beberap video yang tersebar di berbagai media, memang
benar adanya. Jujur, saya belum pernah melakukan, tetapi teman saya
pernah dan itu dianggap wajar di sana,” cerita Munif.

Timbunan tekanan dan perasaan tidak nyaman, terus berkecamuk di
pikiran dan hatinya. Meskipun begitu, tidak menutup semangatnya
berjuang di jalan kemanusiaan yang masih terngiang di benak
pikirannya.

“Semua hal tersebut mulai memudar dan menumbuhkan rasa galau di hati
dan pikiran. Tiba-tiba saya membayangkan hal-hal yang menggoyahkan
keteguhan dan keyakinan saya, untuk berjihad di Suriah. Puncaknya saat
pelaksanaan pembaiatan dan pendirian negara khilafah,” ujarnya.

Seketika hatinya goyah. Idealisme yang membakarnya padam. “Saya
begini-begini lulusan hukum, dan tahu tentang pendirian sebuah negara.
Pendirian negara di tengah kondisi yang belum pasti dan
terombang-ambing, adalah hal yang belum saatnya, ini terlalu
prematur,” tuturnya.

Kemudian dengan segala sisa kekuatan dalam hatinya, Munif menghadap
pimpinannya dengan taruhan nyawa. Saat itu, ia telah menyiapkan
berbagai dalih, untuk bisa mendapatkan paspornya kembali.

Pikirannya sudah karut marut saat itu. Di benaknya mulai mengatakan
bahwa ini sudah di luar dari Islam Rahmatan lilalamin, yang
dipikirkannya saat berangkat.

“Saya bilang kepada pemimpin pasukan saat  itu, bahwa saya mau jual
aset saya di Indonesia. Dan saya mau membawa keluarga saya, untuk
berjihad bersama di sini,” kata Munif.

Bukan perkara mudah, untuk Munif bisa keluar dari markas ISIS yang
mencekam itu. Label pengkhianat, seolah sudah mulai samar dialamatkan
pada dirinya.

Kemampuan negosiasinya, berhasil menyelamatkannya. Ia bisa meyakinkan
pimpinan pasukan saat itu, dengan segudang alasan yang sudah
disiapkan.

Ia akhirnya berkesempatan masuk ke negara Turki, dengan menggunakan
kereta dorong. Pasalnya, saat itu belum ada ketegangan yang sangat
panas di tanah tersebut. Dan satu-satunya akses, untuk dapat pulang ke
Tanah air hanya ada di Turki.

Usai enam bulan tersandera menjadi bagian dari ISIS, akhirnya ia
berhasil menginjakkan lagi kakinya di  Indonesia. “Saya sangat
gembira, karena bisa  bertemu dengan keluarga tercinta. Meskipun
sempat ada ketakutan, karena ISIS sudah dikecam di Indonesia,”
jelasnya.

Tepat di tahun 2017, ia harus merasakan dinginnya jeruji besi. Itu
saat dia  ditangkap  Densus 88 Anti Teror Polri, akhir tahun 2016
lalu.

Dari bilik penjara, Munif terus berbenah dan belajar banyak hal. Ia
berhasil memulihkam jiwa dan hatinya. Jiwa aktivis Munif yang
dicederai oleh doktrin ISIS dengan alasan misi kemanusiaan, mulai
kembali ke jalan yang benar.

Ia semakin yakin, bahwa keputusannya saat ini adalah yang terbaik.
Banyak lalu lalang informasi, bahwa anggota atau kader ISIS mulai
meracuni orang-orang di berbagai belahan bumi, dengan menuduh kafir,
bagi mereka yang tak sejalan.

Masa ia berbenah dan kembali ke sisi positif dari balik jeruji besi
berakhir 25 September 2019 lalu. Munif akhirnya dibebaskan dari
Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Sentul, Bogor, Jawa Barat.

“Mulai saat itu saya putuskan bahwa radikalisme ini harus dibasmi,
harus ditumpas, harus dimusnahkan. Karena ini yang merusak negara yang
damai dan tenteram,” tegasnya.

Munif tak pernah lelah, menyampaikan pesan untuk menjaga nasionalisme.
Dari orang ke orang, kota ke kota, dari satu acara ke acara lain, ia
terus menyebarkan anti radikalisme. Ia berfokus untuk membentuk
paradigma ini di kalangan anak muda.

Idealisme yang tidak memiliki koridor atau ruang dan salah sasaran,
akan menuju pada kehancuran. “Saya tak pernah lelah, untuk menympaikan
ini. Semangat saya dulu saat menjadi aktivis dan berjihad di Suriah,
saya tumpahkan untuk menumpas radikalisme. Sekaligus ini jadi bentuk
pertanggunjawaban saya, sebagai seorang yang berpengalaman,” jelasnya.

Munif yang saat ini juga terus bergelut menjadi seorang pengusaha
permen ternama di Singosari, tidak pernah minder dengan masa lalunya.
Menurut dia, dari sana ia dapat bercerita dan memotivasi agar  tidak
ada lagi radikalisme di bumi Indonesia.

Hingga saat ini sudah tak terhingga, ia bercerita untuk menjauhi
radikalisme. Jiwa labil seorang pemuda harus diwadahi dan diarahkan
dengan berbagai hal positif.

“Menumpas radikalisme bukan perkara mudah, karena musuhnya adalah
sosok-sosok berpengaruh. Dan mereka, bisa mempengaruhi seseorang
secara masif,” sebutnya.

Munif saat ini terus teguh dalam niatnya menyampaikan pesan damai, dan
anti-radikalisme. “Saya melakukan ini, agar tidak ada lagi kesalahan
bagi generasi selanjutnya, ikut terjerumus menjadi seorang yang
radikal, ekstrimis, dan tidak mencintai Tanah Airnya,” pungkasnya.