Dukung Mendukung Itu Wajar, Tapi Kalau Tak Suka Jangan Malah Dukung Gerakan Radikal

Jakarta – Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 kondisi bangsa Indonesia seakan riuh dengan berbagai fenomena terkait dukung mendukung calon presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Hal itu dinilai wajar asal dilakukan dengan cara-cara yang demokratis dan sesuai aturan. Sebaliknya itu akan menjadi tidak wajar bila dukung mendukung itu justru dijadikan ajang saling menghujat kepada pasangan Capres dan Cawapres yang tidak berkompetisi, apalagi bila rasa tidak suka itu malah disalurkan untuk mendukung gerakan radikal, yang jelas mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Agum Gumelar mengatakan, perbedaan pilihan politik jelang Pilpres 2019 adalah hal yang lumrah. Ada pihak yang mendukung calon petahana yang sedang memerintah, ada pula yang memilih di kubu pesaing.

Baca juga : BNPT, Densus 88, & BIN ke Filipina Bantu Identifikasi Pelaku Bom Katedral Jolo

Agum menyebut, kondisi ini menciptakan kelompok yang terkesan tak suka dengan pemerintah dan itu masih wajar. Namun, Agum meminta agar rasa tidak suka itu tak disalurkan untuk mendukung gerakan radikal.

“Kalau memang tidak suka kepada pemerintah itu wajar, ada pro ada kontra, ada suka ada tidak suka. Tapi jangan dong kalau tidak suka kepada pemerintah lantas disalurkan dengan mendukung gerakan radikal. Itu keliru besar,” kata Agum di Jakarta, Selasa (5/2/2019).

Radikal yang dimaksud Agum adalah sikap pikir seseorang atau kelompok yang ingin mengubah NKRI dan Pancasila.

Menurut dia, NKRI dan Pancasila adalah hasil jerih payah, keringat dan darah para pejuang. Tidak ada satu pun pihak yang boleh mengganti NKRI maupun Pancasila. Jika ada seorang atau kelompok yang mengancam keutuhan bangsa dan dasar negara karena pilihan politik, seluruh pasangan capres dan cawapres harus bertindak.

“Kita harus hadapi ancaman ini, harus kita bela Pancasila. Semua komponen bangsa apakah 01 apakah 02,” ujar Agum.

Agum menambahkan, perbedaan pilihan politik ini hanya bersifat sementara. Perbedaan itu akan berakhir ketika pilpres usai.

“Begitu pilpres berakhir tidak ada lagi perbedaan, hormati apapun yang jadi keputusan demokrasi. Itulah dewasa dalam berdemokrasi,” tandasnya.