Dubes Belanda Ajak Masyarakat Indonesia Perangi Tren Intoleransi Global

Jakarta – Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan cenderung meningkat di sejumlah negara. Semakin banyak orang dinilai mulai menanggalkan nilai-nilai toleransi, dan bersikap diskriminatif terhadap beragam perbedaan.

Menurut Duta Besar Belanda untuk Indonesia Lambert Grijns, toleransi merujuk pada sikap saling menghormati dan menghargai nilai-nilai yang dianut pihak lain, semisal di bidang keagamaan. Tidak hanya itu, lanjut Dubes Grijns, toleransi yang sesungguhnya adalah di saat “kita bisa menghargai beragam pendekatan yang dilakukan pihak atau negara lain dalam menghadapi masalah intoleransi.”

“Intoleransi meningkat di dunia, tapi kita memiliki peran untuk melawan tren ini dengan menolak terhadap mereka yang mendorong perpecahan, ketakutan, dan kebencian,” ujar Dubes Grijns dalam webinar bertajuk ‘Perspektif Global dalam Memerangi Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan’ pada Selasa (22/8).

Mengenai toleransi, Dubes Grijns memuji kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang cenderung stabil dan aman. Ia mengatakan hal tersebut dapat terwujud karena nilai-nilai keagamaan tak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia, dan juga memang sudah tercantum dalam Pancasila.

Ia mengatakan bahwa menurut data Pew Research, Indonesia merupakan salah satu negara paling religius di dunia. Masyarakat Indonesia dapat hidup damai di tengah beragam agama, suku, budaya, bahasa dan lain sebagainya.

“Ada kekayaan dan kekuatan dalam kebhinekaan, dan beragam perbedaan itu bukan merupakan ancaman,” sebut Dubes Grijns. Akhir kata, Dubes Grijns mengatakan bahwa Indonesia dan Belanda mempunyai sejarah panjang dalam hal toleransi.

Indonesia memiliki nilai gotong royong yang tak memandang agama serta perbedaan lain. Di Belanda, kata Dubes Grijns, masyarakatnya juga secara umum mengesampingkan perbedaan demi kebaikan bersama.

“Negara kita bisa saling belajar untuk masa depan bersama. Kita dapat berangkat dari ‘Kami’ ke ‘Kita,’ dari eksklusif ke inklusif,” pungkas Dubes Grijns.