Dua Mantan Teroris Berbagi Cerita Tentang Pertobatan

Semarang – Dua mantan pelaku teroris, Ali Fauzi dan Mahmud Hariono berbagi cerita tentang kiprah mereka saat menjadi teroris dan proses pertobatan yang mereka lakukan. Pengakuan mereka dilakukan saat menjadi pembicara pada Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS di Kalangan Pemuda Ansor se-Jawa Tengah di Aula Sudirman, Kodam VII/Diponegoro, Semarang, Kamis (28/4/2016).

“Dulunya badan saya ini kurus karena gak tenang, pergi kesana kemari dibuntuti, masuk ke Indonesia takut ditangkap, beda dengan sekarang, saya gemuk karena sudah tenang, saya fokus sama keluarga dan aktif di masyarakat,” ungkap Ali Fauzi.

Menurut Ali Fauzi, 90 persen masuk teroris karena faktor pertemanan, persahabatan, dan perkawanan, sementara faktor pendorong menjadi teroris yaitu ideologi dan ideologi hanya 10 persen saja. Ia mengaku bergabung dengan jaringan teroris karena bergabung dengan mereka. Awalnya, ia ditunjukkan dengan berbagai penindasan umat Islam di Afganistan, Irak, Palestina, dan lain-lain. Dari situ muncul motivasi untuk membalas hegemoni Amerika di Afganistan, Irak, dan negara islam lainnya.

Namun setelah melalui proses menjadi pengikut jaringan teroris, Ali Fauzi akhirnya sadar. Kesadaran itu dipicu oleh beberapa faktor. Pertama dari dulu ia tidak sepakat bom diledakkan di tempat publik seperti hotel, jalan, apalagi masjid. Bom hanya boleh diledakkan di medan perang antara tentara vs tentara.

“Tapi apa yang terjadi, kawan-kawan saya melanggar sehingga saya kecewa. Soalnya korban bom itu sebagian besar orang islam,” kata Ali Fauzi.

Faktor selanjutnya adalah polisi. “Sejak diekstradisi dari Filipina saya dalam keadaan sakit. Punggung saya patah, juga ‘burung’ saya. Selama 1 bulan di rumah sakit, saya tidak diborgol. Saya juga diperlakukan baik. Bahkan setelah sembuh saya diajak jalan-jalan ke Puncak dan menginap di Villa. Sikap soft approach yang halus dan manusia itulah membuat saya sadar. Dugaan selama ini polisi jahat, polisi bangsat, ternyata jauh dari dugaan saya,” terang Ali Fauzi.

Faktor selanjutnya, lanjut Ali Fauzi adalah Kemenag. “Saya didukung menyelesaikan pendidikan SI dan lanjut S2. Dari situ, saya yang dulu anti perbedaan, begitu melewati masa kuliah dan diajari etika perbedaan, rasa kemarahan otomatis hilang, berubah menjadi sayang,” ungkapnya.

Hal yang sama juga diakui oleh mantan teroris lainnya, Mahmudi Hariono. Menurutnya, ia memilih bertobat setelah melakukan instrospeksi saat menjalani hukuman penjara selama 5,5 tahun dari vonis 10 tahun yang ia terima.

“Dari penjara timbul itikad baik dari saya ingin mengubah hidup saya menjadi normal. Selain itu saya ingin menebus dosa kepada keluarga yang selama ini saya bohongi saat bergabung dengan jaringan teroris di Filipina,” ungkap Mahmud.

Kini, Mahmudi mengaku ingin membantu banyak rekan-rekannya yang sudah bebas untuk kembali ke kehidupan normal. Itu diwujudka dengan membentuk forum silaturahmi dan mengajak mereka mengubah mindset.

“Alhamdulillah banyak rekan yang mengikuti jejak saya,” pungkasnya.