Canberra – Terorisme, ekstremisme, dan radikalisasi menjadi tantangan bagi demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) bagi seluruh dunia termasuk negara negara Asia Pasifik. Indonesia memandang kerja sama internasional yang lebih kuat sebagai kunci untuk mengatasi terorisme.
Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen DPR Puteri Anetta Komarudin mengungkapkan membutuhkan komitmen kuat semua negara untuk melawan aksi teror. “Pertukaran pandangan dan informasi secara khusus penting agar upaya deradikalisasi dan pencegahan penyalahgunaan teknologi untuk tujuan-tujuan terorisme dapat terus dilaksanakan,” kata Puteri dalam pidatonya di Pertemuan Tahunan Asia Pasific Parliamentary Forum (APPF) ke 28 di Canberra, dikutip Sindonews.com, Rabu (15/1).
Dilatarbelakangi hal ini, Indonesia mendukung keputusan untuk menyusun “Konvensi Komprehensif untuk Penanggulangan Terorisme” berdasarkan kerangka PBB dan pelaksanaan Strategi Global Penanggulangan Terorisme dari PBB (UNGCTS).
Pada lingkup regional, ungkap Puteri, Indonesia secara aktif berkontribusi membangun kapasitas penegak hukum di kawasan dalam menanggulangi terorisme dengan membentuk Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) bekerja sama dengan Australia. Sejak dibentuk pada 2004, JCLEC telah menelurkan 1.200 program, melibatkan 24.000 peserta dan 5.500 pelatih dari lebih dari 73 negara, dan didukung oleh lebih dari 20 negara.
Pada lingkup nasional, Indonesia menerapkan pendekatan yang seimbang, yang terdiri dari pendekatan keras (melalui upaya penegakan hukum) dan lunak (fokus pada pencegahan). “Kedua pendekatan ini secara jelas tercantum pada UU Antiterorisme yang telah diamandemen, yaitu UU No 5 Tahun 2018, yang baru-baru ini disahkan oleh DPR,” papar politikus Partai Golkar ini.
Menurut Puteri, UU tersebut memandatkan pembentukan tim pengawas kegiatan penanggulangan terorisme oleh DPR. Tugasnya untuk memastikan bahwa semua langkah yang diambil pemerintah dalam merespons terorisme, radikalisasi, dan ekstremisme selalu sejalan dengan HAM dan nilai demokrasi. “DPR RI juga memandang upaya menjaga keamanan nasional harus pula melindungi hak-hak asasi manusia,” ungkapnya.
UU Antiterorisme yang baru disahkan oleh DPR juga mengatur bahwa siapa pun yang berhubungan dengan organisasi teroris akan dijerat hukuman. Begitu juga mereka yang secara sengaja menyebarluaskan ujaran, sikap atau perilaku, tulisan, atau gambar dengan tujuan memancing orang atau sekelompok orang untuk melakukan tindak kekerasan atau ancaman kekerasan yang bisa berujung pada tindak pidana terorisme. Hal ini secara khusus dimaksudkan untuk merespons penyebaran informasi, gagasan, atau ideologi yang mengandung paham radikal melalui media sosial.
Melengkapi upaya pencegahan radikalisme dan terorisme, Indonesia saat ini tengah menyusun rancangan Rencana Aksi Nasional untuk Penanggulangan Ekstremisme Dengan Kekerasan yang berujung pada Terorisme, RAN PE/Rencana Aksi Nasional untuk Penanggulangan Ekstremisme. Rencana aksi ini terdiri dari tiga pilar, yaitu: (a) Pencegahan, (b) Penegakan Hukum dan Penguatan Kerangka Legislatif, dan (c) Kemitraan dan Kerja Sama Internasional.
Puteri menegaskan radikalisasi perlu diatasi terutama melalui upaya pencegahan dengan memerhatikan HAM dan supremasi hukum. “Radikalisme, ekstremisme, dan terorisme tidak bisa dan tidak boleh dikaitkan dengan agama, kebangsaan, atau kewarganegaraan apa pun,” tegasnya.
Sebagai anggota DPR, semua wajib terjun ke masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mereka mengenai ketiga bentuk ancaman tersebut. “Kita juga harus membangun kepercayaan dan mengintensifkan dialog pada semua tingkatan masyarakat, mengadvokasi solidaritas dengan para korban terorisme dan mendukung narasi penanggulangan terorisme dan radikalisasi pada lingkup nasional dan lokal.”
Puteri meminta APPF juga perlu mendorong pemerintah negara-negara Asia Pasifik untuk bekerja sama mencegah dan menanggulangi terorisme, ideologi ekstrem, dan radikalisasi melalui peningkatan kerja sama. Dalam aspek ini, Indonesia menyatakan siap bekerja sama dengan semua negara di kawasan, berbagi praktik terbaik dan pengalaman dalam mengembangkan program deradikalisasi, penanggulangan terorisme, dan reintegrasi.
“Kita juga perlu menyuarakan pendekatan yang seimbang, antara penegakan hukum dan upaya pencegahan dengan kontribusi aktif semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat keagamaan, organisasi masyarakat madani, dan organisasi regional,” tegasnya