(sumber gambar : nasional.kompas.com)

DPR Kurang Maksimal Bahas RUU Antiterorisme

Jakarta – Pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai masih kurang maksimal dalam hal intensitas dan kefokusan pembahasan. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sangat menyayangkan pembahasan secara tertutup atas ketentuan penangkapan dan penahanan.

“Dengan mekanisme pembahasan RUU ini dilakukan secara tertutup, hanya terdapat dua kali rapat pembahasan selama Juli 2017, yaitu pembahasan tentang Penyadapan (Pasal 31) dan tentang Perlindungan Saksi Tindak Pidana Terorisme (Pasal 32). Belum satu pun pembahasan itu disepakati,” kata Direktur ICJR, Supriyadi W Eddyono kepada wartawan di Jakarta, Rabu (26 /7/2017).

Dikatakan, sampai saat ini pemerintah dan panitia kerja (Panja) RUU Antiterorisme masih membahas izin penyadapan, sinkronisasi dengan Pasal 302 R KUHP, Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 mengenai izin, jangka waktu atau masa penyadapan, pembatasan orang yang dapat mengakses, dan pertanggungjawaban penyadapan.

Sedangkan dalam pembahasan perlindungan saksi, pemerintah diminta untuk merekonstruksi ulang rumusan dengan memasukan alternatif metode atau bentuk-bentuk pemberian kesaksian. Juga terdapat penambahan pasal terkait perlindungan terhadap penegak hukum (Pasal 34). Pemerintah akan merekonstruksi ulang Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 yang tidak masuk dalam Perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003.

“Pemerintah akan memberi penjelasan pola dan bentuk perlindungan bagi penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana Terorisme. ICJR meminta ke depannya agar DPR dan Pemerintah agar dapat membahas hak-hak korban tindak pidana terorisme secara komprehensif,” jelasnya.

Supriyadi W Eddyono juga mengatakan bahwa RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih minim sensitivitas terhadap penderitaan korban. “Padahal sebagian besar fraksi dalam Panja telah memuat masukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) mengenai ketentuan perlindungan korban terorisme,” tutupnya.