DPR Harus Lindungi Anak Dalam RUU Anti-Terorisme

Jakarta – Direktur Eksekutif Civil Society Against Violent Extremism (C-Save) Mira Kusumarini mengatakan, Panja DPR revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak sebagai korban ataupun pelaku dalam kasus terorisme. Pihaknya merekomendasikan agar ada perubahan dan penambahan terhadap empat pasal penting dalam RUU Anti-terorisme.

Hal tersebut disampaikan Mira Kusumarini dalam diskusi publik bertajuk ‘Penanganan Anak Dalam Countering Violent Extremism’ di The Habibie Center, Jakarta, Jumat (3/11/2017). Dalam kesempatan itu, koalisi masyarakat sipil Indonesia meminta DPR agar menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.

Pihaknya, memastikan Pasal 16 dalam RUU Anti-terorisme menjamin penerapan UU No 11 Tahun 2012 mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap anak-anak pelaku tindak pidana terorisme. “Kami ingin bahwa anak yang sebagai pelaku tindak pidana terorisme dipastikan diproses dalam ketadilan yang restoratif sesuai sistem peradilan anak,” katanya.

Dalam UU Nomor 11 Tahun 2012, keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

“Selain memastikan bahwa proses radikalisasi anak berhenti, kita juga harus menjamin bahwa hak anak untuk meraih masa depan tetap terbuka lebar. Kami juga merekomendasikan agar Panja RUU tersebut menambah definisi mengenai korban dalam Pasal 26,” jelasnya.

C-Save juga menginginkan definisi korban adalah seseorang atau ahli warisnya yang mengalami penderitaan fisik atau mental dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana terorisme. Definisi itu melingkupi kelompok rentan dari akibat terorisme seperti anak-anak, yang tidak selamanya terpapar dari serangan langsung terorisme, seperti dalam kasus anak-anak deportan.

Mira Kusumarini juga merekomendasikan Pasal 36 dan 38 di RUU tersebut agar tidak sulit melakukan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban terorisme, termasuk anak-anak. “Kami ingin yakinkan ada kompensasi dan rehab. Banyak anak-anak yang terlibat membutuhkan proses rehab,” ujarnya.

Kemudian, pihaknya merekomendasikan Pasal 36 ayat 3 di RUU tersebut yang mengatur pemberian ganti rugi oleh pelaku terorisme kepada korban untuk dihapus. “Karena berdasarkan kenyataan di lapangan para pelaku atau terpidana teroris tidak dapat memberikan ganti restitusi kepada korban,” kata Mira.

Data dari Civil Society Against Violent Extremism (C-SAVE), menunjukkan bahwa anak usia di atas usia 10 tahun yang sudah terpapar doktrin radikal dalam relasi sosial cenderung menarik diri dan mengalami hambatan bahkan beberapa berperilaku agresif dan impulsif.