Dorong Penguatan Toleransi di Daerah, SETARA Institute Tawarkan Aksi Pembangunan Ekosistem Toleransi

Dorong Penguatan Toleransi di Daerah, SETARA Institute Tawarkan Aksi Pembangunan Ekosistem Toleransi

Jakarta – Bermulanya kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah yang baru menandakan perlunya perencanaan pembangunan lebih matang serta mampu menjawab pelbagai permasalahan strategis, terutama guna pemajuan toleransi.

Dalam rangka hal tersebut, guna mencapai Agenda Ketahanan Sosial, Budaya, dan Ekologi sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, SETARA Institute merancang suatu dokumen Rencana Aksi Daerah Pembangunan Ekosistem Toleransi.

Agenda peluncuran dokumen SNAP Pembangunan Ekosistem Toleransi pada Senin (9/12/2024) mengundang majelis-majelis keagamaan dan kepercayaan di Indonesia, sekaligus organisasi masyarakat sipil.

Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, mengatakan dokumen kebijakan tersebut mencakup pembedahan isu strategis dalam pemajuan toleransi dan formulasi rencana strategi dan aksi untuk mendukung pemerintah.

“Terutama pemerintah daerah,” ujar Halili Hasan.

SETARA Institute mendapati empat isu strategis dalam pembangunan ekosistem toleransi.

Pertama, terdapat stagnansi dalam perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dari tahun ke tahun.

“SETARA Institute mencatat angka pelanggaran KBB masih tergolong cukup tinggi, yaitu 217 peristiwa dengan 329 tindakan pada 2023,” ujar Halili Hasan.

Kedua, kontribusi aktor negara terhadap pelanggaran KBB juga cukup besar.

“Hal ini ditandai dengan adanya 40 tindakan pelanggaran KBB sepanjang 2023 yang dilakukan oleh aktor Pemerintah Daerah (Pemda), seperti melakukan penolakan pembangunan rumah ibadah,” kata Halili Hasan.

Ketiga, masih adanya 71 regulasi daerah yang intoleran terhadap kelompok agama/kepercayaan tertentu.

“Hal ini ditengarai minimnya pemahaman toleransi dan inklusi, serta perencanaan pembangunan yang belum memprioritaskan pembangunan toleransi,” ujarnya.

Keempat, tiga unsur kepemimpinan pembangunan ekosistem toleransi, yakni kepemimpinan politik, kepemimpinan birokratik, dan kepemimpinan sosial, belum sepenuhnya kuat berkomitmen dalam perwujudan kerukunan.

“Hal ini ditandai dengan adanya favoritisme kebijakan, pembiaran atas diskriminasi, dan tindakan intoleran seperti menolak kegiatan ibadah,” ujar Halili Hasan.