Jakarta – Mahasiswa Program Studi Psikologi Program Doktor, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (UI), Roosalina Wulandari, menyebut gerakan hijrah yang marak beberapa tahun terakhir merupakan proses transformasi spiritual dan representasi semangat beragama dalam bentuk perubahan fisik, spiritual, dan sosial.
Dalam proses transformasi ini, seseorang dapat bersikap intoleransi bila merasa paling superior dalam beragama. Roosalina mengatakan intoleransi beragama bisa terbentuk melalui mekanisme orientasi kolektif pada kelompok agama.
Hal itu dia jelaskan melalui penelitian berjudul “Religious Identity Transformation: Explaining Religious Intolerance as Uncertainty Reduction Motivation Through Collective Orientation”.
Dia menuturkan perjalanan hijrah banyak dilihat sebagai upaya memperkuat spiritualitas beragama. Kuatnya budaya kolektif di Indonesia menjadikan hijrah yang awalnya merupakan proses transformasi spiritual personal dijalani secara berkelompok.
Dukungan kelompok dirasakan penting dalam proses berbagi nilai dan validitas identitas baru sebagai pelaku hijrah. Namun, gairah spiritual sering kali dinodai oleh sebagian orang yang merasa paling benar dan akhirnya memunculkan sikap intoleran.
Intoleransi ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berbeda agama, namun juga kepada sesama pemeluk Islam yang berbeda kelompok atau aliran. Hal ini tentunya menimbulkan kerawanan bagi keberagaman umat beragama di Indonesia.
Dalam studinya, Roosalina menemukan ada dua tipe pelaku hijrah, yaitu individualis dan kolektivis. Keduanya didorong oleh kehilangan makna hidup akibat krisis yang dialami, namun mengadopsi pendekatan berbeda dalam mencapai kembali makna hidup. Pelaku hijrah tipe individualis mencapai makna hidup melalui pemenuhan kebutuhan epistemik.
Sedangkan, pelaku hijrah tipe kolektivis mencapainya melalui hubungan sosial dan identitas kelompok. Roosalina juga melibatkan partisipasi masyarakat umum untuk menguji peran orientasi kolektif sebagai mediator dalam perkembangan intoleransi beragama dan entitativitas kelompok sebagai faktor penghubung.
Hasil temuan menunjukkan ketidakpastian berdampak pada orientasi kolektif yang memengaruhi pembentukan intoleransi beragama, baik dalam skala antar-agama maupun intra-agama. Selain itu, entitativitas kelompok dapat memperkuat pengaruh orientasi kolektif terhadap intoleransi antar-agama.
“Kami berharap hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi signifikan pada pemahaman transformasi spiritual dan dinamika sosial di kalangan umat Muslim di Indonesia,” ujar Roosalina dalam sidang promosi Doktor melalui keterangan tertulis yang dikeluarkan UI, Senin, 14 Agustus 2023.
Dia juga berharap studi ini bisa menjadi landasan penelitian lanjutan tentang strategi meningkatkan toleransi dan pemahaman antar-agama. Apalagi, intoleransi kerap muncul dalam peristiwa politik Tanah Air, seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan umum, atau pemilihan presiden yang akan dilaksanakan tahun depan.