Ditjen PAS Berkomitmen Tak Ada Lagi Narapidana Terorisme

Jakarta – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian
Hukum dan HAM RI berkomitmen agar lembaga pemasyarakatan (lapas)
narapidana terorisme kosong, sehingga tidak ada lagi narapidana
terorisme yang menganut paham radikal. Pernyataan itu disampaikan oleh
Direktur Pembinaan Narapidana dan Anak Binaan Ditjen PAS Erwedi
Supriyatno Dalam diskusi bertajuk Mencintai NKRI dari Balik Jeruji:
Efektivitas Deradikalisasi Napiter di Indonesia di Jakarta, Selasa
(28/5/2024).

“Kami berkomitmen supaya ini suatu saat lapas ini kosong. Jadi, kita
anggap semua sudah (ikrar setia) NKRI. Kami menginginkan lapas super
maksimum itu kosong, supaya berarti tidak ada lagi napi yang masih
radikal karena tidak mau NKRI,” kata Erwedi Supriyatno.

Erwedi menjelaskan, Ditjen PAS selalu berkomunikasi dengan lembaga
lain, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk
membina para narapidana terorisme. Ia menjelaskan, pembinaan yang
dilakukan ialah berupa pembinaan intra-mural maupun ekstra-mural.

Secara sederhana, pembinaan intra-mural ialah pembinaan yang dilakukan
di dalam lapas, sementara pembinaan ekstra-mural merupakan pembinaan
lanjutan setelah terpenuhinya pembinaan intra-mural.

Erwedi mengakui bahwa Ditjen PAS terbantu dengan adanya program
revitalisasi pemasyarakatan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan
Pemasyarakatan.

Program tersebut, kata dia, membantu Ditjen PAS dalam menangani
narapidana terorisme karena adanya pembedaan penempatan narapidana
terorisme sesuai tingkat keterpaparan mereka terhadap paham radikal.

“Sejak revitalisasi pemasyarakatan, kita mulai ada sedikit kemajuan
menangani terkait pembinaan napiter. Apalagi kita ada namanya
revitalisasi pemasyarakatan terkait penempatan-penempatan. Ada lapas
super maksimum atau high risk, khusus bagi narapidana yang masih
mempunyai risiko yg sangat tinggi. Kemudian ada lapas maksimum,
medium, dan minimum,” tuturnya.

Diakui Erwedi, pembinaan narapidana terorisme agar mau berikrar setia
kepada NKRI tidak mudah. Dia menyebutkan setidaknya ada empat faktor
yang menyebabkan narapidana terorisme enggan berikrar NKRI.

Pertama, narapidana terorisme masih merasa nyaman dengan kondisi
sebelumnya. Hal ini kerap terjadi pada narapidana dengan masa tahanan
cenderung singkat.

Kedua, narapidana merasa takut terhadap jaringannya. “Dia kan takut,
kalau dia NKRI, tentu akan mungkin diancam oleh jaringannya, mungkin
diganggu oleh jaringannya, ancaman terhadap dia maupun terhadap
keluarganya, sehingga dia merasa takut untuk (ikrar) NKRI,” ujar dia.

Ketiga, mereka khawatir tidak bisa tercukupi secara finansial ketika
bebas. Menurut Erwedi, narapidana terorisme terjamin secara ekonomi
karena kelompok ataupun jaringan teroris menghidupi dia dan keluarga.

Terkait kendala ketiga itu, Erwedi menjelaskan bahwa pemerintah,
melalui BNPT, memiliki program pendampingan dalam meningkatkan
kemandirian dan keterampilan narapidana terorisme. “Sehingga mereka
bisa mandiri dan bahkan diberikan modal usaha,” tuturnya.

Keempat, kendala juga datang dari lingkungan masyarakat yang masih
ragu untuk menerima mantan narapidana terorisme.

“Tentu kendala-kendala lain secara teknis, baik keterbatasan dari
anggaran BNPT, personel BNPT, personel kami dari Ditjen PAS,
pembina-pembina, wali, dan sebagainya, ini juga menjadi salah satu
kendala,” tandas dia.