Surabaya – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur, Rabu (20/9/2017), menggelar kegiatan Dialog Pelibatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Birokrasi Kampus dalam Pencegahan Terorisme di kampus Universitas Negeri Surabaya. Muncul sebuah pertanyaan menarik dari peserta, yaitu apakah cadar salah satu identitas radikalisme?
Pertanyaan itu muncul di sesi tanya jawab sesi pertama, selepas Muhamamd Syauqillah dari Universitas Indonesia menyampaikan materinya. Adalah Saiful, anggota LDK dari Universitas Bhayangkara Surabaya yang menanyakannya.
“Apakah bercadar merupakan erosi di era reformasi? Apakah hal itu termasuk budaya luar yang masuk ke Indonesia?” tanya Saiful.
Menjawab pertanyaan tersebut, Syauqillah menjawab cadar bukanlah identitas seseorang terlibat dalam kelompok pro radikal terorisme. Cadar adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang diizinkan di Indonesia.
“Kita tidak bisa memberikan stigma, seperti halnya lelaki berjenggot adalah teroris,” kata Syauqillah.
Syauqillah mengajak mahasiswa dan birokrasi kampus di Jawa Timur untuk selalu mewaspadai terorisme bukan dari ciri-ciri fisik seseorang, melainkan sikap dan pemahamannya tentang agama dan bernegara. “Lihatlah sikapnya. Islam tidak mengajarkan radikalisme. Jika mengaku Islam tapi radikal, mudah mengkafirkan, merasa paling benar, menyebar kebencian dan melakukan kekerasan, itu baru terorisme,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama Syauqillah membeberkan sejumlah bukti Islam dan agama lain di Turki, negara yang menjadi kiblat kelompok pro radikal terorisme di Indonesia, justeru bisa hidup rukun.
“Mahasiswa harus kritis. Jangan mudah dibodohi, diadu domba dan diajak bergabung dalam kelompok radikal terorisme,” pesan Syauqillah.
Pengajar Kajian Timur Tengah di UI tersebut juga mengingatkan mahasiswa di Jawa Timur agar tidak melepaskan keyakinannya terhadap Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. [shk/shk]