Bandung – Teknologi terus berkembang dengan pesat dan tidak dapat
dipungkiri bahwa siswa saat ini memiliki akses yang lebih baik
terhadap sumber informasi daripada sebelumnya.
Hal tersebut dikatakan Kepala Bidang Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Drs. Edy Purwanto pada
kegiatan Pelatihan Guru dalam rangka Menumbuhkan Ketahanan Satuan
Pendidikan dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying
yang dilaksanakan di SMK N 3 Bandung, Rabu (19/6/2024).
“Jaman sekarang berbeda dengan jaman dulu, semakin banyaknya informasi
bukan hanya hal yang baik yang didapat tetapi informasi yang buruk
juga mudah diterima dan diserap oleh para peserta didik”, ujarnya.
Menurutnya dengan begitu mudah mengakses informasi yang didapat
menjadi tanggug jawab Dinas Pendidikan Jawa Barat untuk membuat dunia
pendidikan menjadi aman.
“Saat ini kami menerima informasi dan belajar menyikapi anak-anak
didik bagaimana mereka berperilaku dari BPIB, berbicara tentang
intoleransi, radikalisme, terorisme kami mengacu pada BNPT, bagaimana
terhindar dari narkoba dengan melihat BNN, ini semua kami lakukan
untuk anak-anak didik”, sambungnya.
Sejalan dengan kegiatan Sekolah Damai BNPT, Kemendikbud melalui Dinas
Pendidikan memiliki Tim Satgas PPKS (Pencegahan Perundungan Anti
Kekerasan) yang ada di satuan Pendidikan.
“Karena Jabar itu potensi besarnya ada di toleransi. Hal ini menjadi
concern bagaimana menyiapkan agar Jawa Barat menjadi sekolah yang
aman, bagaimana anak-anak bisa tumbuh sesuai dengan harapan orang
tua”, ungkapnya.
Dinas Pendidikan bersama dengan Kepala Dinas terkait menyiapkan Jawa
Barat menjadi sekolah yang ramah.
Dirinya menyampaikan bahwa kondisi anak yang ada disekolah memiliki
faktor internal dan faktor eksternal.
Menurutnya faktor yang paling dekat itu faktor internal, contohnya di
SMK N 3 Bandung memiliki siswa lebih dari 1.000, tidak mungkin guru
bisa mengontrol satu persatu, dan intoleransi bisa mulai dari
lingkungan sekolah.
“Mungkin dimulai dari guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa
dengan siswa. Dan yang menjadi faktor eksternal adalah ketika peserta
didik keluar dari lingkungan sekolah,” tambahnya.
Potensi intoleransi, kekerasan dan bullying dimulai dari satuan yang
paling kecil yaitu satuan pendidikan, di mana keseharian anak-anak itu
berada bersama teman dan guru.
“Sekolah menengah atas menjadi sorotan nasional. Karena itu penting
memulai dari sekolah menengah atas”, tambahnya.
Ia menceritakan kasus tawuran di Majalengka menjadi contoh bagaimana
kasus kekerasan dan bullying harus menjadi perhatian penuh, kekerasan
seksual di Cianjur, dan sebagainya.
“Beberapa kasus itu harus menjadi pelajaran agar tidak terulang.
Konteks kekerasan dan intoleransi harus dipelajari”, ucapnya.
Dalam hal ini Pemda Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan concern penuh
terhadap intoleransi, kekerasan dan bullying.
Pihaknya berharap kegiatan ini diharapkan melahirkan progres tindak
lanjut untuk menjadi bekal apa yang nanti bisa dilakukan pada anak
didik kita agar anak didik mendapatkan hak dan kewajiban di sekolah
“Kami berharap BNPT memberikan yang terbaik dengan menberikan
pencegahan dan pentingnya merespon jika itu sudah terjadi di instansi
Pendidikan,” tutupnya.