Jakarta – Penguatan landasan hukum dalam penanggulangan terorisme di Indonesia masih terus dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang (RUU) Terorisme. Selain poin-poin penindakan dan pencegahan, Pansus RUU Terorisme juga memberikan porsi besar bagi perlindungan korban.
Ketua Pansus RUU Terorisme H. Muhammad Syafii, SH, MH mengungkapkan alotnya pembahasan RUU tersebut semata karena untuk menghasilkan sebuah produk yang dapat melindungi segenap warga bangsa. Ia mengungkapkan bahwa RUU Terorisme ini telah memberikan porsi yang besar bagi perlindungan korban. Ada beberapa pasal yang mengatur khusus dalam memberikan jaminan perlindungan bagi korban semisal pasal 35 A yang berbunyi korban tindak pidana teroris adalah tanggung jawab negara.
“Perlindungan terhadap korban ada di pasal yang sangat penting yaitu korban adalah orang yang telah ditetapkan oleh penyidik berdasarkan olah TKP. Bentuk tanggung jawab negara berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan sikososial, santunan keluarga korban, kompensasi,” kata M Syafii saat menjadi narasumber “Silaturahmi Kebangsaan (Satukan) NKRI” di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (28/8/2018).
“Satukan NKRI” adalah kegiatan silaturahmi yang mempertemukan mantan napi terorisme dengan korban (penyintas) yang digagas oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kegiatan ini adalah bagian dari program soft approach (pendekatan lunak) dalam pencegahan terorisme.
Menurut Buya Syafii, panggilan karibnya, sebagai Ketua Pansus RUU Terorisme, ia sudah melaporkan ke Menkopolhukam sudah sejak awal tentang terbentuknya RUU Terorisme. Intinya, Pansus ingin RUU yang dihasilkan ini benar-benar bisa melindungi segenap bangsa Indonesia.
Ia menceritakan bahwa ketika pemerintah memberikan usulan untuk mengubah UU tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, pihaknya terus memegang arahan Menkopolhukam agar UU itu nantinya dilandasi tiga spirit yaitu penegakan hukum, pencegahan, dan penghormatan HAM.
“BNPT malah mengawali tiga spirit yaitu pencegahan, penindakan dan pemulihan korban. Selama ini, BNPT telah melakukan dua cara pendekatan yaitu hard approach dan soft approach. Pendekatan ini pun hanya ada satu-satunya yang ada di dunia. Inilah yang yang kami masukkan di RUU tengah dibangun,” papar Syafi’i
Pendekatan soft approach yang menjadi kebanggaan penanggulangan terorisme di Indonesia, menurut Syafii, terdiri dari tiga program kontra radikalisasi, kesiapsiagaan nasional dan deradikalisasi. Kesiapsiagaan nasional adalah kesiapsiagaan dari seluruh elemen bangsa untuk mencegah radikalisme. Sementara kontra radikalisasi dan deradikalisasi merupakan upaya membentengi orang agar tidak tertarik dengan paham radikalisme dan mengembalikan ke jalan yang lurus.
Dengan demikian, menurutnya RUU ini nantinya tidak hanya bertumpu pada aspek penindakan represif, tetapi sedapat mungkin mengarah juga pada pencegahan bibit yang mengarah kepada radikalisme.
“Fakta mengajarkan pada bangsa ini bahwa kegiatan represif tidak menghentikan terorisme tapi malah menjadikan kelompok lain memiliki bibit terorisme atau disebut reproduksi terorisme,” tukasnya.