Jakarta – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) luncurkan
“Standar dan Modul Perlakuan terhadap Anak, Anak Binaan, dan Klien
Anak Kasus Terorisme” di Graha Bakti Pemasyarakatan, Senin
(10/6/2024).
Standar dan modul tersebut merupakan hasil kolaborasi antara Ditjenpas
dengan Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) dengan dukungan pemerintah
Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice 2
(AIPJ2).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Plt. Dirjenpas),
Reynhard Silitonga, dalam sambutannya menegaskan Anak Berkonflik
dengan Hukum (ABH) membutuhkan penanganan lebih spesial karena mereka
sebenarnya bukanlah pelaku tindak pidana, tetapi bagian dari korban
kondisi dan situasi global saat ini.
Menurutnya, anak bukanlah pelaku terorisme, melainkan korban yang
perlu dilindungi secara hukum dan memerlukan pendampingan oleh Aparat
Penegak Hukum, termasuk petugas Pemasyarakatan.
“Dengan adanya Standar Perlakuan terhadap Anak, Anak Binaan, Klien
Anak Kasus Terorisme akan memudahkan kami dalam melakukan pendekatan
dan strategi dalam proses pembinaan dan pembimbingan. Dengan demikian,
mereka akan mendapatkan perlindungan hak-haknya serta terjadi
perubahan sikap dan perilaku yang lebih terbuka, toleran, dan
moderat,” ujar Reynhard, Rabu (12/6/2024).
Sementara itu, Direktur Pembimbingan Kemasyarakatan dan Upaya Keadilan
Restoratif Pemasyarakatan, Pujo Harinto, melaporkan dalam beberapa
aksi terorisme, anak-anak ikut menjadi korban karena “dilibatkan”
sehingga mereka menjadi ABH. Sayangnya, aturan hukum yang ada
sebelumnya melalui Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor
PAS-172.PK.01.06 Tahun 2015 tentang Standar Pembinaan Narapidana
Teroris tidak mengatur secara spesifik untuk Anak Kasus Terorisme.
Hal inilah yang melatarbelakangi penyusunan Standar dan Modul
Perlakuan Anak Kasus Terorisme.
“Pemerintah dan berbagai pihak terkait didorong untuk memperkuat upaya
deradikalisasi yang menimpa Anak Kasus Terorisme.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan harus bersifat personal dan
spesifik, sesuai tingkat trauma dan dalamnya doktrin yang diterima,”
terang Pujo.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif YPP, Taufik Andrie,
menjelaskan standar dan modul ini merupakan hasil dari proses
pembahasan panjang sejak pandemi COVID-19.
Sebagai salah satu lembaga yang memiliki pengalaman atas pendampingan
terhadap ABH, termasuk kasus terorisme, YYP berharap standar dan modul
ini akan ditindaklanjuti dengan pelatihan teknis untuk meningkatkan
kemampuan serta kinerja petugas.
“Harapannya, standar dan modul ini bisa secara produktif dan strategis
membantu kerja-kerja baik yang selama ini sudah dilakukan oleh petugas
di LPKA dan LPAS yang kemudian akan mentransformasi kapasitasnya
menjadi lebih produktif dan memberikan kontribusi bagi penanganan Anak
Kasus Terorisme di Indonesia,” harap Taufik.
Selanjutnya, Deputy Team Leader AIPJ2, Peter Riddell-Carre,
mengungkapkan rasa bangganya dengan kolaborasi YPP dan Ditjenpas yang
telah menghasilkan modul dan standar. Hasil kolaborasi tersebut akan
membekali petugas Pemasyarakatan dalam menangani Anak terkait tindak
pidana terorisme dan mendukung mereka untuk siap kembali ke
tengah-tengah masyarakat.
“Anak-anak ini juga berisiko terkena dampak negatif dari hukuman dan
stigma yang terus berlanjut. Jadi, lingkungan yang aman juga sangat
penting untuk mengakhiri siklus kekerasan dan memenuhi hak-hak mereka
sebagai Anak. Dukungan pembinaan dan pengawasan terhadap Anak oleh
petugas Pemasyarakatan pun menjadi sangat penting,” terang Peter.
Dalam kesempatan tersebut, Plt. Dirjenpas menerima secara simbolis
Standar dan Modul Perlakuan Kasus Anak Terorisme dari Direktur YPP dan
Deputy Team Leader AIPJ2. Peluncuran ini juga dilanjutkan dengan
diseminasi melalui diskusi interaktif sehingga seluruh peserta dapat
mendapatkan pemahaman lebih detail terkait standar dan modul tersebut.
Adapun kegiatan ini dihadiri langsung oleh perwakilan Unit Pelaksana
Teknis Pemasyarakatan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi.