Makassar – Aksi terorisme tidak terlepas dari keberadaan para pelaku dengan berbagai latar belakangnya, termasuk asal mereka. Alhasil banyak daerah atau tempat yang banyak diklaim sebagai sarang teroris. Contohnya seperti setelah peristiwa Bom Bali, karena Lamongan sempat dicap sebagai daerah teroris, karena pelakunya berasal dari sana. Padahal kenyataannya tidak semua orang Lamongan adalah pelaku terorisme.
“Kita tidak boleh memberikan red zone ke daerah atau kampung tertentu karena tidak semua orang di daerah itu adalah teroris. Beberapa hari lalu ada yang bertanya ke saya tentang red zone Kampung Pedes, Sukabumi yang menjadi tempat dari pelaku terorisme Syaiful Bahri dan Dik Dik yang telah bergabung ke ISIS. Kalau saya tidak punya pengalaman dalam penanganan terorisme, pasti langsung saya jawab iya. Tapi karena saya sangat tahu kondisi ini, saya katakan bahwa negara tidak pernah memberikan stigma suatu daerah sebagai sarang teroris. Jadi jangan stigma seperti itu, demi untuk menjaga ketentraman,” papar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen (Pol) Drs Hamidin saat memberikan paparan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) 2015 di Makassar, Senin (14/12/2015).
Brigjen Hamidin mencontohkan pada Oktober 2014, ada 15 orang tersangka kasus terorisme seperti teman-teman dari Hery Gulun (pelaku bom bunuh diri kedubes Australia) yang lari, yaitu: Nanang, Didi Rahman, dan lain-lain. Setelah Bom Bali dilakukan pengejaran kepada mereka dan ternyata mereka juga sembunyi di Kampung Pedes, Kecamatan Cijarung, Sukabumi. Setelah diinterogasi, mereka ternyata telah bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI) dan dibina ustadz Amin yang sangat disegani di Kampung Batu, kecamatan Cijarung.
“Artinya proses radikalisasi bukan kampungnya, tapi ada ustadz sesat mengajarkan kepada anak atau pemuda untuk bunuh diri atau jihad. Jangan memberikan stigma tertentu kepada daerah atau pesantren sebagai sarang teroris. Tapi kalau memang ada pesantren yang berisi ustadz sesat, maka FKPT wajib melaporkan ke BNPT dan berkoordinasi dengan kepolisian dan pemerintah setempat. Kalau mereka memang teroris, tentu harus ditangkap aparat kepolisian,” ungkap Hamidin.
Terkait kondisi terorisme saat ini, Hamidin menilai secara kualitas dan kuantitas menurun. Hal ini dinilai cukup menggembirakan, meski menurutnya kewaspadaan terkait ancaman terorisme ini tidak boleh kendur, baik itu melalui pencegahan secara konvensional maupun melalui dunia maya.
Mengenai potensi, lanjut mantan Kapolres Jakarta Pusat dan Tangerang ini, sejauh ini dari hasil penelitian, potensi orang yang menjadi radikal masih didominasi generasi muda. Dari segi pendidikan, potensi radikalnya paling tinggi 63,6 persen berpendidikan SMA.
“Kenapa mereka mudah terkontaminasi? Karena masih ada anggapan dari para muda ini bahwa ISIS itu pejuang sehingga mereka ingin gagah-gagahan. Selain itu juga ada buku pelajaran yang disisipi propaganda paham radikalisme,” jelas Hamidin