Jakarta – Media sering dimanfaatkan kelompok teroris untuk ‘menghalalkan’ aksi-aksi kekerasan mereka. Karena itu, media harus bijak dan tetap berpegang teguh pada pedoman peliputan terorisme dalam menyiarkan berita-berita tentang terorisme.
“Terus terang kami sangat khawatir berita-berita aksi terorisme justru menjadi viral karena di blow-up media. Seperti kasus tabrak massal di Barcelona, bila media terus memberitakan, itu bisa menjadi inspirasi bagi kelompok teroris di Indonesia untuk melakukan aksi serupa di sini,” ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ir. Hamli saat membuka Rapat Koordinasi bersama Dewan Pers dalam rangka kontra Propaganda Pencegahan Paham Radikal Terorisme di Jakarta, Rabu (23/8/2017).
Hadir dalam Rapat Koordinasi ini, Kasubdit Kontra Propaganda BNPT Kolonel Pas. Drs. Sujatmiko, Kasie Media Literasi Ery Suprayitno, Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar, dan beberapa anggota Dewan Pers antara lain Imam Wahyudi, Jimmy Silalahi, Nezar Patria, Ratna Komala. Juga hadir beberapa kru Pusat Media Damai (PMD) BNPT dibawah komando Redaktur Pelaksana Abdul Malik serta duet konsultan, Dedy Ratnanto dan Fahrur Rozi.
Brigjen Hamli melanjutkan, dalam kasus bom Kampung Melayu, Brigjen Hamli juga menyayangkan banyaknya media dan media sosial yang memviralkan gambar kepala pelaku. Padahal itu, itu justru yang diinginkan mereka agar menimbulkan simpati.
“Malah ada pengamat yang menilai teror itu rekayasa aparat. Itu membuat kelompok teroris itu merasa gembira,” imbuhnya.
Untuk itulah, Brigjen Hamli meminta Dewan Pers untuk menjalankan perannya lebih besar dalam membantu pencegahan terorisme melalui media. Apalagi faktanya kelompok teroris sekarang juga semakin canggih. Bahkan terakhir dalam kasus bom Bandung, para pelakunya bisa membuat radioaktif untuk membuat bom.
“Mereka bahkan sudah membuat dua laboratorium. Kami bingung mereka dapat dari mana. Dan dari benda yang ditemukan, radioaktif hasil informasi dari ISIS yaitu radioaktif torium yang didapat dari kaos lampu petromax. Untungnya mereka tertangkap, padahal target mereka istana negara. Yang pasti, mereka makin cangguh dan terdepan dalam membuat inovasi teknologi. Ini harus benar-benar diwaspadai,” papar Brigjen Hamli.
Pada kesempatan itu, juga dipaparkan hasil riset dari Wahid Institute. Dari riset itu didapat 46 persen responden intoleran, 72 persen anti radikal, 7,7 persen simpatisan dan siap melakukan kekerasan atas nama agama, dan 0,4 persen sudah pernah melakukan aksi terorisme.
“Dari data itu, dari 7,7 persen saja itu sekitar 7-8 juta orang dengan asumsi respondennya 150 juta. Padahal penduduk Indonesia sekitar 250 juta orang. Makanya butuh kesadaran kita semua untuk bisa mengendalikan ini. Jangan sampai yang 72 persen itu turun dan 46 persen itu naik. Ini menjadi penting bagi Dewan Pers, karena mungkin ada rekan-rekan pers yang belum membaca pedoman peliputan terorisme,” ungkap Hamli.
Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar menegaskan, pihaknya siap mendukung penuh BNPT dalam melakukan penannggulangan terorisme melalui media. Ia pun siap meningkatkan koordinasi dan kerjasama sebagai implementasi dari komitmen bersama itu.
“Kami ingin memperkuat format kerjasama yang selama ini sudah dilakukan. Kami sepakat bahwa media harus waspada. Kita juga harus lebih kreatif mengedukasi masyarakat,” ujar Djauhar.