Direktur Pencegahan BNPT Sebut Kelemahan Pengawasan Perbatasan Jadi Celah Masuk Terorisme

Jakarta – Dalam dialog sessi pertama acara Uji Publik SOP Pengawasan Ancaman Terorisme Wilayah Perbatasan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Hamidin berharap agar kegiatan seperti ini tidak hanya selesai semata untuk seremonial. Pesan moral penanggulangan terorisme dalam bentuk pengamanan dan pengawasan wilayah perbatasan dapat terus ditingkatkan, terutama dari bahaya terorisme.

Brigjen Hamidin menambahkan, wilayah perbatasan –baik di luar maupun dalam negeri- merupakan salah satu faktor masuknya bahaya terorisme dalam sebuah negara. Lemahnya pengawasan perbatasan dijadikan celah bagi para pelaku kejahatan untuk melebarkan aksinya. Kejahatan seperti pembalakan liar, impor barang ilegal, penangkapan ikan ilegal, penyelundupan manusia, dan juga terorisme adalah ekses langsung dari lemahnya pengawasan perbatasan.

“BNPT menyadari bahwa masing-masing instansi aparat keamanan dan stakeholders wilayah perbatasan telah memiliki aturan dan SOP tersendiri dalam pengamanan dan pengawasan ancaman terorisme. Namun, kami memandang bahwa strategi pengawasan perbatasan yang ada saat ini belum menyeluruh dan lintas sektoral. Atas dasar itulah, kami dari BNPT membuat SOP pengawasan wilayah perbatasan ini untuk untuk mensinergikan seluruh stakeholders untuk bersama melakukan pengawasan wilayah perbatasan sesuai amanat UU yang menempatkan BNPT sebagai lembaga Koordinatif dalam pencegahan aksi terorisme,” jelas Brigjen Hamidin, Selasa (24/11/2015).

Menurut Direktur Pencegahan dalam hal terorisme, Indonesia pernah merasakan dampak langsung akibat lemahnya sistem pengawasan di wilayah ini. Pergerakan organisasi teroris transnasional di beberapa tahun silam, seperti yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah, bertumpu pada wilayah perbatasan ini.

“Kita harus perbaiki sistem pengawasan perbatasan kita, jangan sampai Indonesia ‘kecolongan’ lagi soal terorisme ini, semua kita lakukan demi keamanan nasional negara kita” ujarnya menambahkan.

Sejumlah nama gembong teroris, seperti Azahari dan Noordin Top terbukti menggerakkan kelompoknya melewati perbatasan Filipina-Malasyia-Indonesia. Pergerakan kelompok teroris di wilayah ini tidak terbatas hanya pada penyelundupan para pelaku teroris saja, melainkan juga penyelundupan senjata yang digunakan untuk kegiatan terorisme.

Teori masuknya para pelaku terorisme ke Indonesia lewat dan memanfaatkan lemahnya sistem pengawasan perbatasan bukan sekedar isapan Jempol. Sejumlah mantan anggota jaringan terorisme pun telah membenarkan teori ini. Mereka mengaku menggunakan jalur perbatasan yang lemah untuk menyelundup masuk ke Indonesia, demikian seperti yang pernah disampaikan ara mantan teroris seperti Nasir Abbas, Abdurrahman Ayyub, Ali Fauzi, Umar Patek, dan sebagainya.