Jakarta – Untuk melakukan aksinya, saat ini kelompok teroris di Indonesia telah menjadikan aparat pemerintah sebagai sasaran empuknya. Hal ini terjadi karena kelompok teroris menganggap bahwa pemerintah tidak melaksanakan hukum Islam sehingga disebut dengan kafir dan thaghut.
Hal tersebut disampaikan Direktur Perlindungan BNPT, Brigjen Pol. Herwan Chaidir saat membuka acara Focus Group Discussion (FGD) 1 Penyusunan Buku Panduan Sistem Keamanan Lingkungan Satuan Pendidikan Kerjasama (Sekolah Internasional) dalam Menghadapi Ancaman Terorisme TA.2017 di Jakarta, Kamis (27/4/2017).
“Pemahaman yang salah ini kemudian dipakai oleh kelompok mereka untuk mencuci otak dan pikiran orang yang pemahamam agamnya rendah untuk halal menyerang fasilitas, kantor pemerintahan, simbol negara dan segala hal yang berkaitan dengan tercapainya visi dari teroris tersebut,” ujar Brigjen Pol. Herwan Chaidir saat memberikan gambaran terhadap aksi terorisme selama ini.
Dikatakan alumni Akpol tahun 1987 ini, negara Indonesia sendiri pernah dihantam atau diserang oleh kelompok-kelompok radikal pelaku terorisme di Indonesia yang berkeinginan untuk mengubah sistem yang sudah ada di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk menjadi negara yang berdasarkan syariat islam atau Khilafah. Sejarahnya sudah ada sejak diprokalamirkan kemerdekaan Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta, sudah ada perlawanan dan pandangan yang berseberangan dari Kartosuwiryo yang saat itu mendeklarasikan DI/TII yang merupakan cikal bakal perlawanan terhadap negara Indonesia.
“Padahal negara kita ini mengakomodir seluruh agama, bahasa, budaya dan suku dari Sabang sampai Merauke. Kalau kita diam saja dan kelompok-kelmpok itu mlakukan perlawanan dan sebagaianya bukan tidak mungkin negara Indonesia akan pecah,” kata mantan Kabid Pencegahan Detasemen Khusus (Densus) 88/Anti Teror Polri ini
Dikatakan pria kelahiran Palembang 7 Oktober 1963 ini, BNPT sendiri telah dikenal di seluruh dunia dimana beberapa waktu lalu Kepala BNPT, Komjen Pol Drs. Suhardi Alius, MH, diminta untuk berbicara pada acara rapat yang digelar Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika, mengenai radikalisme-terorisme di Indonesia dan bagaimana cara Indonesia mampu menanggulangi terorisme di Indonesia.
“Negara lain pun memberikan apresiasi terhadap Indonesia. Dengan apa yang disampaikan bapak Kepala BNPT tersebut maka di tingkat dunia Indonesia dijadikan salah satu role model dalam masalah menanggulangi terorisme. Karena hingga detik ini kita mampu menangkap 1.260 tersangka dan untuk selanjutnya dilakukan proses hukum. Beda dengan negara-negara lain yang lebih condong terhadap penagakan militeristik,” kata mantan Kasub Detasemen Bantuan Densus 88/AT Polri ini
Dijelaskannya, melihat kejadian dengan masih banyaknya terduga teroris yang ditangkap oleh Densus 88/Anti Teror Polri pada akhir-akhir ini maka ancaman terhadap teror di Indonesia masih sangat tinggi sekali. “Kalau negara ini lengah bukan tidak mungkin aksi pengeboman terhadap fasilitas-fasilitas umum akan kembali terjadi,” katanya
Berdasarkan data yang ia terima dari kasus bom Thamris 2016 lalu pelaku sebenarnya telah merancanakan sasaran lainnya yakni bandara dan sekolah internasional. Karena pelaku teror itu dapat melihat titik-titik yang mereka anggap penting.
“Karena mereka juga perhitungan. Bagi mereka mungkin kalau melakukan aksi di sekolah internasional mempunyai makna yang lebih tinggi dimana peserta didik dan pengajarnya mayoritas warga asing. Karena pengaruhnya akan mempengaruhi kebijakan politik, mungkin ada travel warning dan mungkin juga ada kritikan-kritikan dari kedutaan-kedutaan,” katanya
Dengan melihat kejadian tersebut maka pihaknya merasa perlu untuk menyusun Penyusunan Buku Panduan Sistem Keamanan Lingkungan Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK/Sekolah Internasional) Dalam Menghadapi Ancaman Terorisme dengan menggelar Focus Group Discussion (FGD) sebagai tindak lanjut dengan telah di sosialisasikannya SOP (Standar Operational Prosedur) Penanganan Aksi Terorisme di lingkungan Satuan Pendidikan Kerjasama (Sekolah Internasional) pada akhir tahun 2016 lalu di Bali.
“Untuk itu inilah yang coba kita bahas dalam penyusunan buku ini yaitu kita ingin menyusun suatu buku panduan pengamana SPK. Karena buku ini nantinya bisa dikatakan sebagai kitab suci bagi SPK yang ada di seluruh Indonesia jika terjadi ancaman terorisme,” ujar mantan Kapolres Gorontalo dan Kapolres Pohuwato ini.
Karena sistem pengamanan lingkungan yang diterapkan oleh sekolah Internasional baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki peran yang strategis dalam memberikan kontribusi pada pembangunan nasional. “Hal ini dikarenakan sekolah internasional merupakan fasilitas publik yang digunakan sebagai tempat proses belajar-mengajar serta kegiatan publik lainnya yang terkait dengan pendidikan” kata alumni Lemhanas angkatan 47 tahun 2012 ini.
Untuk itu dirinya berharap buku ini nantinya punya kualitas yang cukup baik dengan dikumpulkan para pemangku kepentingan yang punya kompetensi untuk menyusun buku tersebut. Karena penyebaran buku tersebut akan dilkasanakan di seluruh Indonesia sehingga bisa dijadikan acuan jika terjadi ancaman terorisme khuusnya di lingkungan sekolah internasional
“Untuk itu saya berharap ada peran serta dalam pemikiran dari semua pemangku kepentingan yang hadir disini dalam penyusunan buku ini. Karena outputnya buku ini ya untuk SPK itu sendiri nantinya jika terjadi ancaman terorisme,” kata pria yang mengawali karir polisinya sebagai Kanit Resintel Polses Ciputat di lingkungan Polda Metro Jaya ini mengkakhiri.
Seperti diketahui, guna memaksimalkan penyusunan buku tersebut, FGD ini dihadiri stakeholder atau pemangku kepentingan seperti dari Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri, Detasemen Khusus (Densus) 88, Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), kalangan akademisi dan juga para perwakilan dari berbagai sekolah-sekolah internasional yang ada di Jakarta, Praktisi dan juga peneliti.