Jakarta – Pengadilan Mali di Bamako menghukum mati seorang pemimpin militan dan 14 orang lainnya karena aktivitas militan di selatan negara bagian Sahel yang dilanda perang. Saat divonis mati, sang kepala militan menyatakan tak menyesali perbuatannya.
“Saya tidak menyesali apa pun karena perjuangan kami melawan sekularisme negara Mali. Jika saya memiliki kesempatan, saya akan melakukannya lagi,” kata terdakwa utama Souleymane Keita (61), seperti diberitakan kantor berita AFP, Sabtu (14/11/2020).
Pengadilan mendakwa Keita alias bernama Khaled Ibn al-Walid, kepala cabang Al-Qaeda, atas serangan yang dilakukan di selatan Mali, dekat perbatasan dengan Pantai Gading.
Mali telah berjuang untuk menumpas pemberontakan militan brutal yang pertama kali muncul di wilayah utara pada tahun 2012, dan sejak itu menyebar ke pusat negara itu dan ke negara tetangga Burkina Faso dan Niger.
Ribuan tentara dan warga sipil telah tewas dalam konflik tersebut hingga saat ini, dan ratusan ribu orang lainnya harus mengungsi dari rumah mereka. Namun, wilayah bagian selatan Mali relatif terhindar dari kekerasan di bagian lain negara yang luas itu.
Keita diperkirakan telah bertempur di Mali utara bersama para pemimpin militan sebelum mendirikan kelompok selatannya sendiri pada 2013.
Dia ditangkap pada tahun 2016. Seorang pejabat keamanan mengatakan pada saat itu bahwa kelompoknya memiliki sekitar 200 anggota.
Pengadilan Bamako menghukum mati Keita pada Kamis (12/11/2020) bersama dua kaki tangannya. Sebanyak 12 orang lainnya yang divonis hukuman mati diadili secara in absentia.
Meski hukuman mati masih secara formal tercatat dalam aturan hukum di Mali, tapi hukuman tersebut belum pernah dilakukan sejak 1980-an. Dalam praktiknya, hukuman mati di Mali setara dengan penjara seumur hidup.