Banda Aceh – Sebagai pusat pemerintahan Provinsi Aceh, Banda Aceh dikenal luas karena penerapan syariat Islam yang ketat dalam tata kelola masyarakatnya. Namun, di balik dominasi aturan berbasis agama, kota ini tetap membuka ruang hidup bersama bagi pemeluk agama lain.
Komunitas kecil umat Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu tercatat menetap di Banda Aceh. Meski ekspresi keagamaan mereka berjalan dalam batasan tertentu, kehadiran rumah-rumah ibadah tetap dijamin secara sah oleh pemerintah kota, selama tidak melanggar ketentuan lokal.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Banda Aceh, Ustaz Abd. Syukur, menegaskan bahwa dialog lintas agama terus dibangun demi mencegah potensi gesekan dan memperkuat semangat persaudaraan. Hal itu disampaikan saat ia menjadi narasumber dalam dialog interaktif yang digelar RRI, Sabtu (26/7/2025).
“FKUB menjadi jembatan antaragama di Banda Aceh. Kami rutin menjalin koordinasi dengan para tokoh agama agar situasi tetap kondusif,” jelasnya.
Ustaz Syukur menyebutkan bahwa meskipun ekspresi publik umat non-Muslim terbatas, dalam beberapa tahun terakhir tidak ditemukan laporan serius terkait diskriminasi sistemik. Warga dari berbagai latar belakang keyakinan umumnya hidup berdampingan secara damai, khususnya dalam kehidupan sosial dan ekonomi sehari-hari.
Dua wilayah, yakni Gampong Mulya dan Peunayong, menjadi contoh konkret kerukunan yang terjaga. Di kawasan ini, rumah ibadah dari berbagai agama berdiri berdampingan — mulai dari masjid, gereja, vihara, hingga kuil — tanpa pernah terjadi konflik berarti.
“Kehidupan di kampung-kampung ini menunjukkan bahwa toleransi bukan hanya bisa hidup, tapi juga berkembang subur di tengah masyarakat yang sangat religius,” ujar Ustaz Syukur.
Banda Aceh dengan demikian memperlihatkan wajah damai dari keberagaman yang terkelola. Sebuah bukti bahwa penerapan syariat dan penghormatan terhadap perbedaan dapat berjalan seiring dalam bingkai harmoni sosial.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!