Di Balik Syariat, Aceh Hadirkan Kehidupan Damai Bagi Semua Agama

Aceh – Identitas Aceh kerap melekat pada penerapan syariat Islam. Namun di balik persepsi luar yang sering kali menimbulkan kesan eksklusif, kehidupan beragama di Serambi Mekkah justru memperlihatkan wajah damai, harmonis, dan penuh penghargaan terhadap keragaman.

Umat Kristen, Katolik, Hindu, maupun Buddha mengaku bisa beribadah dengan tenang, bahkan mendapat dukungan dari pemerintah serta masyarakat sekitar.

“Bagi saya tinggal di Aceh terasa sangat nyaman. Kerukunan antarumat beragama berjalan baik, dan sepanjang sejarah tidak pernah ada konflik agama,” ungkap Ketua Vihara Dharma Bhakti Banda Aceh sekaligus Ketua MBI Aceh, Fajar Saputra dikutip dari laman resmi Kemenag RI, Kamis (18/9/2025).

Vihara Dharma Bhakti, yang berdiri sejak 1878, menjadi bukti nyata harmoni itu. Selama lebih dari satu abad, vihara tetap menjadi pusat kegiatan umat Buddha, dari kebaktian mingguan hingga sekolah Minggu anak-anak.

Fajar menuturkan, Kementerian Agama berperan besar menjaga kerukunan, terutama lewat kehadiran Pembimas Buddha. “Beliau seperti orang tua bagi kami, mampu merangkul dan menyatukan umat dalam perbedaan pandangan,” katanya.

Perayaan Dharma Santi Waisak yang digelar bergilir setiap tahun juga menjadi ajang kebersamaan. Jumlah peserta bisa mencapai seribu orang, dengan tuan rumah berpindah dari Meulaboh, Langsa, hingga tahun depan di Banda Aceh.

Harmoni serupa dirasakan umat Kristen. Pembimas Kristen Aceh, Samarel Telaubanua, yang sudah 26 tahun tinggal di Aceh, menepis anggapan negatif dari luar. 

“Banyak yang mengira Aceh menakutkan, padahal kenyataannya aman dan damai,” ujarnya. Kini, umat Kristen diperkirakan mencapai 40 ribu jiwa dengan 189 gereja, mayoritas di Aceh Tenggara dan Aceh Singkil.

Bagi umat Katolik, Aceh bahkan menjadi tempat penguatan iman. “Nuansa syariat justru membuat kekatolikan saya semakin kuat,” kata Pembimas Katolik Aceh, Baron Ferryson Pandiangan, yang sejak 2011 menetap di Banda Aceh. Tahun ini, Paroki Hati Kudus Yesus genap berusia 100 tahun, bukti panjangnya akar Katolik di bumi Aceh.

Dari komunitas Hindu, kisah serupa datang dari Kuil Palani Andawa di Banda Aceh, warisan umat Tamil yang berdiri sejak 1934. Saat kuil lain yang lebih tua rusak akibat tsunami 2004, masyarakat Muslim setempat justru ikut peduli, menanyakan perkembangan renovasi, bahkan pemerintah kota memberikan dukungan penuh.

Kepala Kanwil Kemenag Aceh, Azhari, menegaskan kerukunan dijaga melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan komunikasi erat antar-pembimas. “Hampir setiap hari kami berdiskusi, sambil ngopi, menanyakan perkembangan situasi,” jelasnya.

Menurut Azhari, syariat Islam di Aceh hanya berlaku untuk umat Islam, sementara non-Muslim dihargai dalam identitasnya. “Yang penting saling menghormati, hidup rukun, dan berbusana sopan,” ujarnya.

Ia menutup dengan pesan sederhana namun kuat: “Harmoni di Aceh tercipta karena masyarakat saling mengakui dan menghargai perbedaan. Prinsipnya, bagi kamu agamamu, bagi kami agama kami.”