Jakarta – Dewan Pers mengingatkan pelaku media untuk menghindari
pelabelan negatif atau stigmatisasi terhadap kelompok tertentu,
terkait konflik Israel-Palestina, misalnya label kelompok teroris.
Imbauan itu muncul menyusul banyaknya keluhan yang mempersoalkan
akurasi, dramatisasi, dan stigmatisasi atau pelabelan negatif terhadap
kelompok tertentu.
“Hal itu terjadi antara lain karena konten-konten berita yang diunggah
atau disiarkan itu tercerabut dari konteks peristiwa dan akar
permasalahannya,” kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahaya dalam
keterangannya, minggu (16/10/2023).
Dewan Pers mengingatkan kepada insan pers menghindari pelabelan
teroris dalam pemberitaan tersebut yang mencakup lima hal. Pertama,
masalah di Timur Tengah khususnya Palestina, memiliki sensitivitas dan
mendapatkan perhatian luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia,
baik karena latar belakang historis maupun sosio-psikologis.
“Di tengah simpang siurnya informasi dan hoaks yang beredar di media
jejaring sosial, pemberitaan di media massa sangat dibutuhkan untuk
mengimbanginya. Pers harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip
jurnalisme dan Kode Etik Jurnalistik, termasuk kewajiban menguji
informasi (verifikasi, konfirmasi, serta klarifikasi) dan
mengedepankan kepentingan publik,” terangnya.
Kedua, lanjut Ninik, sikap dan langkah itu juga diharapkan dapat
menjadi bagian dari kontribusi pers Indonesia dalam menegakkan prinsip
yang ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945.
“Pers Indonesia sebagai bagian dari komponen bangsa juga punya
kewajiban moral mengusung misi yang diamanahkan para pendiri bangsa
ini agar ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,” ujarnya.
Ketiga, pahami dan hormati suasana kebatinan masyarakat dan sikap
resmi pemerintah Indonesia yang mendukung perjuangan bangsa Palestina
untuk merdeka dan memiliki negara sendiri yang berdaulat.
“Tumbuhkan empati, bukan antipati yang berpotensi membelah masyarakat,
bangsa, dan negara Republik Indonesia. Hindari penyematan atribusi
yang terkesan sebagai pelabelan negatif atau stigmatisasi terhadap
kelompok tertentu, terutama di kalangan kelompok masyarakat Palestina.
Misalnya label kelompok teroris, itu jelas tidak tepat,” tambahnya.
Sementara itu, terkait pemberitaan aksi terorisme, Dewan Pers telah
mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015
tentang Pedoman Peliputan Terorisme. Pedoman tersebut merupakan hasil
rumusan bersama organisasi-organisasi pers konstituen Dewan Pers yang
kemudian disahkan oleh Rapat Pleno Dewan Pers sebagai Peraturan Dewan
Pers.
Selanjutnya, keempat, perlu berhati-hati dan cermat dalam mengunggah
atau menyiarkan berita yang bersumber dari media asing guna
menghindari campur aduk fakta dan opini yang menghakimi sebagaimana
amanat Kode Etik Jurnalistik pasal 3.
“Hindari sikap ketergesa-gesaan yang sekadar mengejar aspek kecepatan
tetapi mengabaikan akurasi. Sikap ini sangat perlu diterapkan agar
pers Indonesia tidak termakan propaganda Israel dan media-media
afiliasi atau pendukungnya yang cenderung mencampuradukkan fakta dan
opini, termasuk hoaks, yang menghakimi,” ucapnya.
Terakhir, kelima, Dewan Pers mengimbau penayangan berita mengenai
Palestina lebih ditujukan untuk untuk memenuhi fungsi pers sebagai
pemberi informasi, edukasi, dan lembaga kontrol sosial.