Jakarta – Dewan Pers mendorong pemerintah agar membentuk regulasi untuk mengatur media sosial (medsos). Hal itu bertujuan agar media sosial dan media massa dapat dibedakan.
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun mengatakan, kadang-kadang medsos itu dianggap karya jurnalistik, kadang-kadang dengan kasus tertentu, terutama apabila menyangkut kasus hukum terhadap wartawan. Termasuk juga peristiwa di Km 50.
“Patokan kami ada dua syarat dia dianggap sebagai media massa itu pertama yang membuat itu wartawan bener, kedua akun itu adalah akun resmi, official, Facebook-nya siapa,” kata Hendry dalam diskusi bertajuk ‘Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media Mainstream di Era Disrupsi Medsos’, Kamis (4/2/2021).
Hendry mencontohkan akun Instagram Tempo yang dianggap sebagai media massa. “Tentu (syarat) yang lain adalah berbadan hukum, kalau itu berbadan hukum meskipun dia YouTube Dewan Pers akan menilai itu sebagai karya jurnalistik,” ujarnya.
Ia mengaku sering kali Dewan Pers diminta untuk menindaklanjuti laporan berita hoax yang ada di medsos. Namun, menurutnya, regulasi saat ini hanya dapat ditindaklanjuti oleh Kominfo, sehingga ia menilai perlunya ada regulasi terkait media sosial.
“Kami di DPR itu beberapa kali ‘ayo dong tegas dong, tindak tegas’, ‘nggak bisa pak ini zaman reformasi kita hanya memperingatkan, kalau medsos ya Kominfo’. Jadi dalam perspektif kami perlu sekali ada regulasi, entah level apa tadi disinggung, misalnya mungkin peraturan pemerintah,” ujarnya.
Ia menegaskan, Dewan Pers ingin ingin melindungi wartawan yang benar. Dewan Pers juga ingin supaya masyarakat juga tidak terus diracuni.
“Jadi regulasi poin dari saya adalah perlu ada regulasi untuk media sosial,” imbuhnya.
Sementara itu, Konsultan Ahli Hukum PWI Wina Armada juga mengusulkan agar pemerintah membentuk undang-undang yang mengatur media sosial. Sebab, ia menilai belum ada regulasi yang bisa membedakan media massa dan media sosial.
“UU Informasi dan Transaksi Elektronik sebenarnya latar belakangnya adalah untuk bidang perdagangan atau bisnis. Namanya saja elektronik, tapi ada sampiran-sampirannya, tidak boleh ada porno dll. Sampirannya itu sekarang menjadi yang utama. Sebenarnya UU ITE itu tidak untuk menangani masalah-masalah media sosial. Sebenarnnya UU ITE kalau kita benturkan dengan medsos masih ada kekurangan,” kata Wina.
Ia menilai UU ITE masih ada kekurangan untuk menangani tindak pidana di media sosial. Selain itu, Putusan MK menolak permohonan yang diajukan MNC agar layanan over the top di internet tunduk ke UU Penyiaran, oleh karena itu ia mengusulkan agar ada UU terkait media sosial.
“Kami mengusulkan kenapa harus ada UU media sosial, UU ini kami harapkan menampung perkembangan teknologi komunikasi di media sosial termasuk penciptaan norma-normanya. Artinya norma di media sosial ini apa sekarang masih rancu sekali. UU ini nanti menjadi lex specialis, menjadi rujukan,” ujarnya.
“Akhirnya UU ini akan memberikan batasan yang jelas yang mana pers yang mana yang bukan sehingga perbedaan pers dan bukan pers menjadi jelas. Bahwa kita memerlukan UU media sosial pada saat sekarang. Kami dari PWI ingin meng-endorse termasuk ke dalam Kemenkum HAM ini untuk terlibat di dalam proses pengajuan pembuatan dalam draft UU Media Sosial,” kata Wina.