Bandung – Peran lingkungan dan masyarakat sekitar sangat penting dalam pencegahan terorisme, terutama untuk deteksi dini. Untuk itu, sosialisasi tentang terorisme harus terus dilakukan di setiap lingkungan masyarakat.
“Harus kita akui deteksi dini di lingkungan masyarakat kita masih lemah sehingga koordinasi dengan lembaga terkait di setiap desa harus ditingkatkan. Intinya masyarakat harus bisa mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi di lingkungan masing-masing. Tujuannya jelas bila ada warga baru dengan tindak-tanduk mencurigakan mereka bisa langsung lapor,” jelas Direktur Penegakan Hukum Deputi II BNPT Drs Torik Triono, Msi saat menjadi narasumber Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme di Kalangan Guru & Pelajar se-Jawa Barat di Gedung Sabuga, ITB, Bandung, Selasa (8/3/2016).
Dari pengalaman yang terjadi, kata Torik, setiap ada penangkapan pelaku aksi terorisme, justru tetangga kanan kirinya tidak tahu apa pekerjaan yang bersangkutan juga dengan identitas pribadi lainnya. Hal itu menjadi lazim terjadi di kota-kota besar akibat kurangnya kontrol sosial yang kurang.
Selain itu, penguatan pemahaman agama di setiap keluarga juga penting karena keluarga adalah tonggak bagi seorang anak untuk berpijak. Ia mencontohkan beberapa waktu lalu, pihaknya mendapat pengaduan seorang ibu tentang anak gadisnya berusia 14 tahun yang hilang. Dari informasi yang ia dapat, putrinya tersebut masuk pesantren di Makassar. Setelah ditemukan, anak itu sudah berbeda 180 derajat.
“Kalau sebelumnya anaknya biasa saja, sekarang sudah bercadar dan berani mengkafir-kafirkan ibunya bila tidak ikut dengan dia. Bahkan anaknya bersikeras tidak mau pulang dan bertekad pergi ke Suriah untuk bergabung dengan khilafah,” jelas Torik.
Itu bukti bahwa anak umur 14 tahun bisa berubah menjadi radikal. Menurut Torik, ini peringatan bagi generasi muda Indonesia agar tidak mudah terpengaruh dengan paham-paham baru yang terkontaminasi paham radikal terorisme.
Selain itu, ungkap Torik, pengaruh media sosial juga harus diantipasi. Faktanya dari beberapa pelaku terorisme awalnya hanya sekadar membuka internet. Tapi kejadiannya, banyak pelaku yang terbawa paham radikalisme setelah terprovokasi melalui internet.
“Kita mengajak agar saling pengertian dan bisa mengingatkan sesama kita agar tidak terpengaruh paham radikalisme. Akhir-akhir ini, setiap minggu kami mendapat laporan ada deportasi WNI dari Timur Tengah, khususnya Turki. Mereka pulang karena ternyata di Suriah tidak sesuai harapan mereka. Ada juga yang sempat ke Suriah tetapi sudah ditangkap di Turki, dan ada juga yang kabur dari Suriah,” papar Torik.
Mereka-mereka yang pulang dari Suriah inilah bisa lebih bahaya bila kembali beraktivitas menyebarkan pahamnya di Indonesia. Untuk itu, perlu deteksi dini untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan tersebut.