Derita Pencari Status “Syuhada”; Catatan Pembelajaran Dari Aljazair

Tentang Status Syuhada dan Kematian yang Sia-Sia

Secara bahasa, Syuhada secara umum diartikan sebagai “kumpulan orang orang yang gugur.” Pemaknaan seperti ini umum ditemukan dalam berbagai literatur non teologi. Sementara dalam pengertian yang lebih spesifik, kata syuhada merupakan bentuk jamak dari kata syahid, sehingga ia berarti “orang yang gugur ketika berjuang di jalan Allah, atau demi tegaknya agama Allah. Dari sini jelas bahwa Syuhada bukanlah nama pangkat, bukan pula jabatan.

Upaya untuk menegakkan agama Allah tidak hanya bisa dilakukan dengan melakukan pertempuran fisik, karena seperti dijelaskan oleh Imam Hasan al-Bashri dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, bekerja mencari nafkah untuk keluarga pun termasuk dalam upaya membela agama Allah (jihad). “Sesungguhnya bisa jadi ada seorang senantiasa berjihad walaupun tidak pernah menyabetkan pedang -di medan perang- suatu hari pun.” (lihat, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/264] cet. Dar Thaibah). Apa yang menjadi ganjaran untuk seorang syuhada, itu bukan urusan manusia. Diterima atau tidaknya amalan manusia, sepenuhnya hanya Allah Swt sang khaliq saja yang tahu.

Lantas, dengan semakin merebaknya pemahaman sempit yang menyatakan bahwa gelar Syuhada hanya bisa dicapai dengan kematian di medan perang, muncullah sebuah pertanyaan penting; Apakah status kematian syahid bisa dijadikan tujuan?

Penulis kira bisa. Tujuan syahid tidak sama dengan tujuan kematian. Status syuhada adalah pengharapan. Misalnya seorang tentara yang berangkat ke medan perang, maka dia tidak boleh menempatkan dirinya agar sengaja untuk ditembak agar mendapat status syuhada.  Seorang tentara dengan taktis dan teknis yang dikuasainya di medan perang seharusnya bisa membunuh musuhnya sebanyak mungkin untuk memenangkan perang demi negaranya. Kalau ia berdiri di depan tank tempur musuh misalnya, supaya ditembak dan mati, maka dia bukanlah syuhada; ia mati “konyol” dan sia sia.

Apa yang seharusnya menjadi tujuannya? Seharusnya harapan akan kemenangan dan mengembalikan harkat martabat negara dan bangsanya. Bila kemudian dia harus gugur, maka dia tidaklah sia-sia. Dia, dalam pengertian sederhana penulis, bila dikaitkan dengan apa yang dijelaskan dalam alquran dan hadist, maka dia mati dalam keadaan syahid  dan berstatus sebagai syuhada. Hal ini tentu berlaku juga bagi orang yang gugur saat beribadah.

Coba bandingkan semisalnya, AKP Dede dan anak buahnya yang sedang sholat di mesjid Faletehan  sehabis melaksanakan pengamanan kegiatan masyarakat, tiba tiba tanpa ba-bi-bu, ia ditikam. Seandainya kemarin mereka tewas, maka merekalah yang syahid. Dia sedang melaksanakan dua ibadah sekaligus, yakni tugas negara dan sholat yang merupakan kewajiban dasarnya sebagai muslim pada sang khaliq

Realita Tipu Janji Ala ISIS

Sangat mudah dipahami bahwa yang menjanjikan surga bagi seseorang tentu lah bukan orang lain yang sama kedudukannya di mata Allah. Aneh bila ada manusia yang menjanjikan akan langsung masuk surga bagi orang yang meninggal. Aneh juga bila seseorang yang melakukan perbuatan munkar,  membunuh orang, akan masuk surga. Aneh juga membunuh orang lain dan kemudian bunuh diri, akan masuk surga. Aneh, bila ada orang yang tidak melakukan kewajiban agamanya, bertato, tidak pandai membaca Alquran, tidak  menjalankan sholat, dan berhasrat membunuh polisi dan aparat pemerintah lainnya namun  ingin dikatakan dan bergelar sebagai Mujahidin.

Aneh pula, seseorang melalui medsos menjanjikan tanah yang penuh dengan kekejaman, perkosaan, perbudakan wanita dan penggorokan sebagai ‘tanah harapan’. Orang-orang ini juga menyebut haram api neraka bagi siapapun yang datang dan menginjakan satu kaki kanan di sana. Maka tidakkah berlebihan kalau manusia sekelas Bahrun Naim, Muhamad Wandy alias Jedi bahkan Abu Bakar al Bagdadi memberikan janji masuk surga melebihi junjungan Nabi Besar Muhamad Saw, bahkan melebihi janji Allah swt.

Sekarang masyarakat dunia telah melihat kenyataannya betapa janji-janji itu palsu belaka. ISIS tidaklah lebih dari sekumpulan penjahat haus darah dan hasrat seksual yang menyalurkan hasrat jahatnya dengan berlindung di balik surat, ayat dan hadist suci. Sering mereka memberikan “jaminan” akan surga. Sayangnya, tidak sedikit orang yang masih juga percaya kepada ‘janji-janji surgawi’ ini, padahal mereka yang menjanjikan tersebut belum tentu mendapat jaminan dari Allah, sang pemiliki seluruh jagat raya berserta isinya.

Bagi mereka yang mempercayai tipu daya ini, mereka akan rela melakukan kekerasan dan kekejaman sambil mengira bahwa inilah jalan yang benar menuju tuhan. Kepercayaan buta mereka telah mengalahkan logika dan akhlak mulia yang telah dengan tegas ditunjukkan oleh agama. Mereka dengan mudah memberi cap tertentu terhadap orang-orang di luar kelompoknya.

Mereka akan menyebut orang di luar kelompoknya sebagai penghianat, murtadin. Sementara orang atau kelompok yang tidak sepaham dengan mereka akan langsung dicap kafir; keduanya (murtadin dan kafir) mereka anggap boleh –dan bahkan harus—dibunuh.

Fakta ini tentu sangat menyesakkan. Masih ada pula sebagian kecil masyarakat yang tidak kunjung cerdas dan paham tentang makna radikalisme yang setiap saat bisa saja merasuki keluarganya, anaknya, keponakannya atau siapa saja di lingkungan terdekatnya. Mereka merasa membela agama dengan cara-cara yang membabi buta, paham mereka disesaki dengan penggalan-penggalan dogma atas hadis dan pandangan pandangan ulama yang menyesatkan. Pemahanan agama yang sengaja dibatasi oleh penggagas radikal akan melahirkan perasaan ekslusivisme dan radikal agama yang  pro-kekerasan; inilah hakekat dari terorisme.

Catatan Pembelajaran Dari Aljazair.

Dari perjalanan penulis ke Aljazair dan bertemu dengan berbagai tokoh dan aparat mulai dari kepolisian, gendarmerie dan kepala intelijen negara, ada beberapa hal menarik tentang antisipasi terorisme  di Aljazair. Negara ini memang tampak serius melakukan antisipasi terorisme, terutama dengan terlibatnya beberapa warga Aljazair yang bergabung untuk memperkuat ‘mujahidin’ Afganistan tahun 80an yang menjadi sumber inspirasi bagi terlibatnya  dan bergabungnya mujahidin dari beberapa negara lain seperti Bosnia dan Checnya. Sekembalinya para mujahidin Afganistan tersebut , sseperti halnya di Indonesia, mereka melakukan serangan-serangan. Saat itulah terorisme lahir di Aljazair yang kemudian mereka sebut “Priode gelap”.

Disebut demikian karena pada masa inilah ratusan ribu orang Aljeria yang tidak bersalah terbunuh. Berangkat dari persoalan tersebut, pemerintah Aljazair merasa perlu bekerja keras dan melakuakan semua langkah bagi  penanganan yang komprehensif terhadap setiap serangan terorisme. Hal ini dilakukan dengan pembenahan dalam hal counter intelligent, menambah kapasitas penyelidikan, memperketat perbatasan, memperkuat Gendarmerie,  mempersenjatai Border guard, memperkuat Department of Intelijend and security (DRS), mempersenjatai Generale Directorate of National Security ( DGSN ).

Dari bincang-bincang penulis selama kunjungan kerja ke negeri Algiers Putih, ada beberapa kelompok teroris yang menjadi concern mereka saat ini. Di antaranya adalah, AQIM (Al qaedah in Islamic Maghreb), the Mali Based Movement for Unity and Jihad in West Africa (MUJAO), dan Jund al Khilafah in Algeria (JAK-A) Soldiers of Caliphate in Algeria. Mereka adalah kelompok-kelompok garis keras yang berkeinginan untuk mendirikan negara Islam. Mereka juga menyerang aparat sebagaimana yang dilakuakan di Indonesia sekarang. AQIM misalnya, masih melakukan penyerangan dengan bom dan melakukan pencegatan-pencegatan di jalan. Sementara JAK-A nyata-nyata sudah berbai’at kepada ISIS.

Pemerintah setempat melakukan pencegahan dengan melakukan berbagai operasi rutin di pegunungan Kabylie. Untuk menghadapi cyber terrorism dan hate speech, pemerintah setempat membangun banyak basis kekuatan seperti anti cyber agency yang merupakan organ pencegahan nasional yang tersambung ke bagian teknologi informasi dan komunikasi. Badan ini terdiri dari anggota aparat keamanan dan aparat pertahanan nasional di bawah menteri kehakiman yang bertanggung jawab memonitor komunikasi elektronik untuk mendeteksi pelanggaran, hate speech dan kegiatan radikalisme via sosial media.

Aljazair menolak bergabung dengan koalisi global (Global Coalition to Counter ISIL ) seperti halnya indonesia dengan alasan yang sama, yaitu menolak untuk terlibat dalam persoalan negara lain. Namun mereka secara aktif berpartisipasi melawan ISIS dengan information sharing, trainning Imam, capacity building programs dengan Negara-negara tetangganya. Parlemen mereka juga telah mengajukan sebuah aturan yang melarang warga negaranya untuk berangkat keluar negeri, khususnya ke negara-negara yang sedang dilanda konflik sebagaimana yang dimanatkan dalam resolusi PBB 2178 (2014 dan 2199) (2015) serta 1267/1989/2253.

Tahun 2015 struktur intelijen diubah, dari SCORAT (The Service for Operational Coordination and Antiterrorist Intelligence) menjadi SCAAT (The Algerian Central Service For Anti Terrorism) di bawah koordinasi Menhan.

Apa yang berbeda dengan di Indonesia?

Aljazair menempatkan peran penting pemerintah dalam membina pendidikan agama. Pemerintah memberikan training langsung kepada seluruh imam. Sarana credential imam digunakan untuk mempromosikan toleransi dan menghindari penggunaan agama sebagai sarana politik.  Imam ditunjuk oleh pemerintah, dilatih, digaji, serta diberikan sanksi pelanggaran termasuk denda dan kurungan pidana bagi imam yang berasal dari non-pemerintah.

Pemerintah melarang penggunaan mesjid sebagai sarana pertemuan umum di luar waktu ibadah. Imam harus mendorong nilai-nilai moderat, toleransi dan menerima berbagai perbedaan. Kementerian agama setempat (MRA)  secara masif memperingatkan warga negaranya untuk tidak terpengaruh janji-janji masuk surga, jihad bom, menyerang aparat, dan kesemuanya dilaksanakan secara serentak di setiap ceramah agama dan sholat Jumat. Jadi jangan heran kalau kotbah Jumat selalu bertopik yang sama.

Bisakah Indonesia? Mari jawab dengan hati nurani kita sendiri.

Semoga bermanfaat.