Deradikalisasi Terhadap Aman Abdurrahman Sulit Dilakukan

Jakarta – Pengamat Terorisme Al Chaidar mengatakan, deradikalisasi pemerintah kepada terpidana kasus terorisme, Aman Abdurrahman sangat tipis kemungkinannya untuk berhasil. Pasalnya, Aman Abdurrahman dimungkinan kembali tersandung kasus hukum setelah mendapat remisi dan bebas tetapi dijemput Khusus (Densus) 88 dari Lapas Pasir Putih Nusakambangan.

Dikatakan, penjemputan Aman Abdurrahman sama sekali tak mengagetkan. Apalagi, banyak kasus teror yang dikaitkan dengannya, selama dia berada di bilik penjara Nusakambangan, di antaranya, kasus teror bom Thamrin dan bom Kampung Melayu. “Akan ada implikasi yuridis bagi Aman Abdurrahman jika terbukti mengendalikan jaringan dari dalam Lapas,” kata Al Chaidar kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (19/8/2017).

Al Chaidar tak yakin Aman Abdurrahman mau menerima remisi yang diberikan pemerintah kepadanya. Sebab, menerima remisi sama halnya mengakui hukum negara Indonesia yang bertentangan dengan ideologinya. Setelah bebas dari Lapas Nusakambangan, pentolan ISIS di Indonesia itu dinilai lebih bebas menyebarkan pengaruh dan pahamnya ke masyarakat. Dia juga lebih leluasa memberikan perintah dan fatwa kepada para pengikut.

Deradikalisasi terhadap Aman, dinilai Al Chaidar sulit jika masih mengacu pada program yang ada. Menurutnya, pemerintah perlu memikirkan metode baru deradikalisasi terhadap mantan napi teroris lewat cara mengakomodir berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Jika tidak akan terjadi sebaliknya, di mana petugas yang mau melakukan deradikalisasi bisa jadi malah teradikalisasi dulu oleh mereka. Di sisi lain, aparat penegak hukum kurang leluasa dalam mencegah aksi teror terkait penyebaran paham radikal karena lemahnya payung hukum.

Dijelaskan, revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Terorisme, mendesak dilakukan. Di antara pasal baru yang perlu diakomodir dalam UU itu adalah menyangkut ujaran kebencian (hatespeech) serta dorongan untuk melakukan aksi teror, baik melalui lisan maupun tulisan. Landasan hukum itu penting, terutama kaitannya pencegahan aksi teror.

Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme juga perlu diakomodir dalam revisi UU Terorisme. “Selama ini, menyebarkan paham radikal melalui khotbah atau kegiatan lain tidak bisa ditindak karena lemahnya payung hukum,” kata dia.

Al Chaidar juga berpandangan, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat mengeluarkan daftar organisasi atau perorangan yang berafiliasi dengan teroris dan mengumumkannya ke masyarakat hingga tingkat paling bawah. Dengan demikian, masyarakat dapat mengidentifikasi dan membantu melakukan upaya penangkalan terhadap terorisme.