Di tengah ramainya tudingan sejumlah pihak terkait progam deradikalisasi yang dipandang gagal mengentaskan napi terorisme dari paham dan aksi kekerasan, muncul suara-suara lantang dari para mantan napi terorisme yang menegaskan fakta sebaliknya. Program deradikalisasi bukanlah program gagal, apalagi hanya menghabiskan anggaran –sebagaimana dituduhkan–; program deradikalisasi diakui banyak pihak berhasil menjalankan tugasnya. Pengakuan ini datang bukan hanya dari para mitra kerja, tetapi datang langsung dari para mantan napi terorisme yang merasakan betul manfaat dari program ini.
Salah satu yang bersuara lantang terkait tudingan miring ini adalah ust. Khairul Ghazali. Ia menegaskan bahwa dirinya terbantu banyak oleh program deradikalisasi, bahkan melalui pesan singkatnya ia menyebut program deradikalisasi bukan hanya berhasil memutus rantai terorisme di kalangan mantan kombatan, lebih dari itu, program ini berhasil membantu para ex-teroris membukan lembaran baru dalam kehidupan mereka.
Ust. Khairul Ghazali sendiri saat ini mendirikan pesantren deradikalisasi di Medan, di mana pesantren ini fokus mengajak para kombatan, eks- kombatan, serta sanak keluarganya untuk kembali ke jalan yang benar. Nama-nama lain yang juga turut berkiprah di ‘dunia barunya’ ini antara lain; Ali Imron, Abu tolut, Abdurrahman Ayyub, dll. Mereka adalah sedikit dari banyak nama lain yang merasakan langsung manfaat program deradikalisasi.
Tantangan terberat dari pelaksanaan program deradikalisasi bukanlah memutus mata rantai terorisme, melainkan melatih, mengiringi dan memastikan bahwa para napi terorisme dapat memulai lembaran baru kehidupan ketika mereka kembali ke masyarakat, sehingga rantai yang terputus itu tidak akan tersambung lagi.
Beberapa kasus kembalinya napi terorisme ke dunia hitam terorisme disebabkan oleh kegagalan mereka memulai hidup baru. Tidak sedikit terpidana kasus terorisme yang tidak memiliki skill mumpuni untuk hidup normal di tengah masyarakat, karenanya fokus deradikalisasi adalah memberi bekal berupa keterampilan kepada para napi terorisme agar ketika mereka kembali ke masyarakat nanti, mereka dapat membaur dan memulai usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya secara baik dan beradab.
Ust. Khoirul Ghazali misalnya, ia bahkan mengatakan andai ia tidak terjaring program deradikalisasi, mungkin saat ini ia telah kembali bergabung dengan kelompok lamanya, atau bahkan dengan ISIS. Karenanya tidak heran, ia menolak keras tudingan yang mengatakan bahwa program deradikalisasi gagal. Alih-alih melakukan evaluasi, ust. Ghazali meminta pemerintah agar program deradikalisasi semakin digalakkan.
Deradikalisasi, melalui soft approach dan deteksi dini harus terus dijalankan, utamanya dengan menyasar langsung ke kelompok-kelompok radikal. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat saat ini terorisme sudah memasuki level baru. Aksi terorisme dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan menyasar siapa saja. Para pelaku aksi teror tampaknya tidak butuh alasan kuat untuk melakukan aksi jahatnya. Mereka akan melakukan teror kapan saja mereka suka. Empat kasus teror terakhir; Bom di jalan Thamrin, bom gerea di Medan, penyerangan oknum polisi di Tangerang dan bom di Samarinda, adalah contoh nyatanya. Serangan-serangan itu tidak terkait dengan tahun baru atau perayaan natal, ini murni serangan yang disengaja untuk membuat keributan.
Ancaman lain yang juga perlu diwaspadai adalah tumbuhnya lone wolf atau serigala tunggal. Yakni orang-orang yang secara mandiri rela melakukan aksi teror. Mereka bukanlah orang-orang yang tiba-tiba menjadi teroris; ada serangkaian proses yang mereka alami sebelum akhirnya nekad melakukan aksi keji terorisme.
Keberhasilan program deradikalisasi adalah keberhasilan kita bersama, karena dalam prakteknya, BNPT tidak bekerja sendirian untuk mensukseskan program ini. Meski begitu, tantangan di depan masih terbentang panjang. Terorisme akan tetap ada selama pikiran jahat dirawat dalam otak, namun, selama program deradikalisasi berjalan, terorisme tidak akan berumur panjang.