Jakarta – Focus Group Discussion (FGD) Foreign Terrorist Fighter (FTF) dan Hate Speech Dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme diharapkan bisa menghasilkan rumusan hukum dalam menangani masalah FTF dan hate speech (ujaran kebencian) di Indonesia. Hal itu diungkapkan Deputi Bidang Deputi Pendindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT, Irjen Pol Arief Dharmawan saat membuka kegiatan tersebut di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
“Semoga hasil FGD ini bisa dijadikan acuan bagaimana melakukan koordinasi yang baik untuk melakukan tindakan hukum terhadap FTF dan hate speech dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia,” kata Irjen Arief Dharmawan didampingi Direktur Penegakan Hukum BNPT Brigjen Pol Herry Rudolf Nahak.
Selain ini, lanjut Irjen Arief Dharmawan, FGD ini juga sebagai langkah antisipasi arus balik FTF dari Irak dan Suriah karena Indonesia belum punya instrumen hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap FTF dan para WNI yang kembali dari Suriah dan Irak ke Indonesia. Apalagi ada seruan pimpinan ISIS yang menyerukan kepada pengikutnya untuk melakukan aksi di tempatnya masing-masing dan tidak usah pergi ke Irak dan Suriah. Seruan itu diungkapkan setelah kota Mosul kembali direbut pasukan Irak. Kondisi tentu harus diwaspadai, karena faktanya cukup banyak WNI yang telah pergi ke Irak dan Suriah, dan juga simpatisan mereka di dalam negeri.
Selain FTF, lanjut Irjen Arief Dharmawan, masih ada bahaya lebih besar lagi yaitu hate speech atau ujaran kebencian. Menurutnya, hate speech ini kini beredar luar biasa di media sosial yang isinya menjelekkan, menebar kebencian, dan mengajak orang untuk melanggar hukum.
“Tindakan Ini belum bisa dihukum karena Undang-Undang (UU) belum ada. Saat in, sedang berjalan revisi UU Nomor 15 tahun 2003, tapi belum tahu kapan selesainya. Saya berharap revsi itu cepat selesai dan segera menjadi UU. Jangan sampai kasus Thamrin terulang lagi, sementara kita belum memiliki instrument hukum untuk menangani aksi terorisme ini,” paparnya.
FGD FTF dan Hate Speech dalam Penanganan Tindak PIdana Terorisme dihadiri Komisi III DPR RI, perwakilan dari International Centre For Counter Terrorism Dr. Christophe Paulussen, Sangita Jaghai, dan Rene Elkerbout, hakim pengadilan di DKI Jakarta, Densus 88, Kejagung, Imigrasi, Satgas Kimia, Biologi, Radioaktif, dan Nuklir.
Irjen Arief Dharmawan menjelaskan, sebenarnya fenomena FTF ini bukan baru di Indonesia. Sebelumnya, banyak WNI pergi ke AFganistan 1986-1992 untuk membantu Afganistan berjuang melawan Uni Soviet. Ada 10 angkatan WNI yang dikirim Abdullah Sungkar, diantaranya Imam Hambali, Ali Gufron, Imam Samudera, Muklas, Umar Patek, Abdurrahman Ayyub, dan lain-lain. Saat ini, banyak WNI yang terlibat perang di Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS dan Jabat Al Nusra. Dari data yang ada, sekitar 700 WNI berangkat ke Suriah dan Irak. Jumlah ini memang tidak terlalu banyak dibandingkan dengan Eropa Barat(5000 orang), Rusia (4700 orang), Balkan (875 orang), dan Timur Tengah (8240 orang).
“Meski jumlah tidak banyak, tapi banyaknya WNI yang bergabung ke ISIS tetap sebuah ancaman. Kita punya pengalaman buruk dengan mereka yang pernah bergabung dengan Afagnisatan,” tegas mantan Kapolres Temanggung dan Klaten ini.