Cianjur – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap pasangan suami istri terduga teroris di Desa Gunungsari, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Kamis (14/11) sekitar pukul 10.00 WIB.
Kedua terduga teroris yang berinisial DS (24) dan DK (25) ditangkap di lokasi berbeda. DS diamankan di sekolah tempatnya mengajar di Kampung Cibanteng, sementara DK diamankan di rumah kontrakan di Kampung Cibodas.
“Yang diamankan pertama suaminya saat sedang mengajar, disusul istrinya diamankan sekitar pukul 10.00 WIB. Saya juga sedang santai di rumah langsung diminta ikut oleh petugas kepolisian,” kata Ure Suryadi (47), Ketua RT 03, kepada awak media.
Aksi tersebut sempat membuat geger warga. Pasalnya, banyak polisi yang datang mengamankan lokasi. Beberapa di antara mereka mengenakan seragam lengkap berikut senjata laras panjang, sebagian lagi berpakaian preman.
“Proses saat kedua suami-istri itu diamankan sangat cepat. Ada juga petugas yang masuk ke rumah kontrakan membawa kantong plastik berukuran besar,” kata dia.
Saat ditangkap, DK sempat memberontak dan menyangkal dirinya sebagai teroris. Namun pihak kepolisian bergeming dan tetap membawanya ke dalam kendaraan.
“Yang perempuan sempat nyangkal sebagai teroris, nangis-nangis. Dia juga bilang ke saya katanya, ‘Bu… Ibu… saya bukan teroris.’ Polisi bilang ke dia, nanti kasih keterangannya di kantor,” ungkap Imas (32), pengelola kontrakan tempat keduanya tinggal.
Kapolres Cianjur, AKBP Juang Andi membenarkan soal adanya operasi di wilayah hukumnya. Namun dia enggan untuk berkomentar lebih jauh.
“Betul, ada yang diamankan, tapi untuk konfirmasi bisa ke Polda atau Mabes,” ujarnya.
DS yang ditangkap di sekolah tempat dia mengajar diketahui kerap berpindah kontrakan. Sebelum di lokasi yang digerebek petugas, dia tinggal di Kampung Cihaur 1, RT 1 RW 4, Desa Gunungsari, Kecamatan Ciranjang, Cianjur. Beberapa kali DS juga terlibat perdebatan dengan tokoh agama setempat soal ajaran agama dan jihad.
DS sebenarnya berstatus warga asli di kampung tersebut. Da tinggal sejak berusia 13 tahun setelah ayahnya menikah dengan warga setempat.
“DS untuk ibadahnya bagus, bahkan sering azan juga. Ngajinya juga rajin. Termasuk di sekolahnya berprestasi,” kata Ustaz Ahmad Rifai (30), tokoh agama setempat.
DS juga pernah mengenyam bangku kuliah. Setelah lulus SMK, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan tinggi di Bandung, namun hanya sampai tahun pertama. Saat menjalani aktivitas perkuliahan itulah karakter pria itu berubah. Pemikirannya tentang ibadah dan agama dianggap melenceng.
Berhenti kuliah, DS kembali ke lingkungan rumahnya. Dia sering membawa teman-temannya. Ustad Ahmad kembali didebat soal jihad berikut soal pemahaman agama dan ibadahnya.
“Pernah juga saya tegur ketika waktunya salat Jumat, mereka malah pergi. Katanya sudah biasa pergi ke masjid di luar kampung sini. Seperti yang sudah tidak nyaman dengan lingkungan warga sini. Dia juga punya agenda rutin setiap pekan,” tuturnya.
Agenda rutin yang dimaksud Ustad Ahmad adalah setiap dua hari dalam seminggu DS mengikuti pengajian di tempat dosennya yang berlokasi di Bandung,
“Jadi seperti pengajian khusus untuk kelompok mereka, itu rutin setiap minggu ada dua hari kegiatan pengajian. Tapi tidak tahu lokasi pastinya. Yang jelas, ngaji sama dosennya di Bandung,” terangnya.
Dia juga mengaku sebenarnya sudah menyampaikan perubahan sikap dan perilaku DS, termasuk pertanyaan dari masyarakat soal gerakan dan bacaan ibadah yang sedikit berbeda kepada orangtuanya. Namun ayah terduga teroris tersebut mengaku kesulitan membina DS.
“Jadinya malah dipasrahkan lagi ke saya,” Ustad Ahmad berujar.