Jakarta – Kabag Bantuan Operasi Densus 88 Kombes Pol Aswin Siregar menyampaikan Afghanistan menjadi tempat melatih diri (training ground) para kelompok teroris yang biasa beraksi di Indonesia.
Awalnya, Aswin menyampaikan konflik di Afghanistan yang terjadi sejak 1970 silam telah memicu datangnya pejuang alias kombatan dari berbagai penjuru negara. Tak terkecuali Warga Negara Indonesia (WNI).
Ia mengungkapkan banyak WNI yang diketahui menjadi kombatan berdalih memperjuangkan nasib dan kemerdekaan umat Islam. Sesampainya di sana, mereka mendapatkan pencucian otak (brainwash).
“Sampai di sana mereka biasa lah yang mengalami proses brainwash. Kemudian membangun jaringan kenal satu sama lain dan melatih dan melengkapi diri dengan persenjataan yang ada,” kata Aswin dalam diskusi daring, dikutip tribunnews, Senin (30/8).
Ia mencatat ada lebih dari 10 gelombang WNI yang berangkat ke Afghanistan dengan maksud menjadi kombatan pejuang di Afghanistan. Mereka menjadikan tempat itu sebagai melatih berperang.
“Ada yang tercatat misalnya, saya mungkin lebih ada 10 gelombang yang berangkat ke Afghanistan dari tahun-tahun awal itu ya. Kemudian setelah mereka selesai dalam tanda kutip berjuang di sana, selesai berlatih di sana, Afghanistan itu akan selalu itu jadi training ground mereka ya berlatih dan berperang,” ungkapnya.
Ia menerangkan WNI eks kombatan di Afghanistan ini rata-rata memiliki pemikiran dengan tingkat radikalisme yang tinggi seusai pulang ke Indonesia. Tercatat, ada sejumlah aksi teror yang diperbuat eks kombatan di Afghanistan.
“Kemudian selesai pulang ke Indonesia dan melakukan berbagai aksi teror ya di sini sebagaimana yang tercatat di kita itu ada bom malam natal ketika konflik di Poso, Bom Bali 1, bom Bali 2, bom JW Marriott, bom Kedubes Australia, Ritz Carlton dan sebagainya,” ungkapnya.
Atas dasar itu, Aswin mengingatkan bahwa keberadaan WNI sebagai kombatan di Afghanistan berdampak terhadap pemikirannya selepas pulangnya ke Indonesia.
“Jadi hasil-hasil dari keberadaan mereka di Afghanistan itu secara nyata dan faktual memberikan dampak terhadap pemikiran dan aksi mereka setelah kembali ke Indonesia,” jelasnya.