Jakarta – Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri diingatkan berhati-hati mengidentifikasi jaringan teroris di Indonesia. Aparat penegak hukum tidak boleh salah tangkap.
“Jangan sampai salah tangkap dan menjadi ramai lagi di masyarakat nanti,” kata anggota Komisi III Supriansa di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/11/2020).
Ia menyebut penindakan terhadap terduga teroris harus sesuai indikator yang telah ditetapkan. Hal tersebut sesuai Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Bunyi Pasal 12B ayat (1), yaitu ‘Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme’.
“Kalau memang indikatornya jelas (terpenuhi) maka mesti kita support polisi (menindak jaringan teroris),” kata politikus Partai Golkar itu.
Dia mengapresiasi upaya Densus88 yang menangkap tujuh orang diduga bagian jaringan teroris. Upaya tersebut sebagai bentuk antisipasi gangguan di tengah masyarakat.
“Polisi memang tugasnya melakukan pencegahan terhadap tindakan-tindakan terkait adanya dugaan yang berkembang di tengah masyarakat,” ujar dia.
Sebelumnya, Densus 88 Polri menangkap tujuh terduga teroris. Ketujuh orang tersebut terdiri dari kelompok berbeda, yakni Jemaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Sebanyak 5 orang jaringan teroris JI ditangkap di Banten dan Lampung. Sementara itu, dua anggota JAD ditangkap di Sumatra Barat dan Batam.