Kendari – Kehadiran Putri Ayudya untuk menjadi narasumber ketiga dalam workshop yang menghadirkan pelajar sebagai peserta tersebut seakan menghidupkan suasana. Dia menyebut tepuk tangan adalah cara termudah dan murah untuk menghilangkan kantuk dan penat.
“Dengan tepuk tangan bukan hanya kantuk kita yang hilang, tapi setidaknya juga membangunkan teman di sebelah kita,” kata Putri, Rabu (26/4/2017).
Sebagai narasumber, dalam paparannya Putri menjelaskan bagaimana alur cerita atau premis video dibuat. Materi yang disampaikannya di Kendari menggunakan pendekatan praktik berdasarkan pengalaman, melanjutkan teori yang sebelumnya sudah disampaikan oleh sineas dari Samuan Film, Tjandra Wibowo.
Dara berparas manis kelahiran Solo tahun 1988 tersebut menjadi salah satu dari deretan artis yang dilibatkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memberikan pelatihan kepada pelajar terkait teknis pembuatan video pendek materi kontrapropaganda radikalisme dan terorisme di dunia maya. Video karya pelajar sendiri nantinya akan diunggah di media sosial Youtube dan dilombakan, di mana lomba yang sama sudah digelar tahun 2016 lalu.
“Yang membedakan tahun ini ada workshop, ada pelatihan terlebih dahulu yang melibatkan para artis itu,” kata pendamping bidang Pemberdayaan Pemuda dan Perempuan BNPT, Fahrudin.
Kehadiran para artis, lanjut Fahrudin, selain tentunya diminta berbagi ilmu dan pengalaman, juga dimaksudkan untuk ‘menyegarkan’ suasana kegiatan. Itulah kenapa artis ditempatkan sebagai narasumber kedua dan ketiga yang tampil selepas peserta menerima kesempatan jeda untuk beristirahat.
Selain Putri, nama-nama tenar di dunia perfilman Indonesia terlibat dalam kegiatan yang sama. Antara lain Mathias Muchus, Tio Pakusadewo, Lukman Sardi, Ence Bagus, Verdi Solaiman, Jajang C. Noor, Wulan Guritno, dan Prisia Nasution. Tidak hanya artis, kegiatan workshop video pendek juga menjadikan sejumlah sineas sebagai pemateri, antara Tjandra Wibowo, Swastika Nohara, Dyah Kusumawati, dan Ratrikala Bhre Aditya.
Keterlibatan para ‘pesohor’ tersebut tentu layak mendapatkan apresiasi. Yang menarik untuk diketahui, berapakah honor yang mereka terima? Bukan rahasia jika deretan artis di atas memiliki honor besar untuk setiap film yang diproduksi atau dimainkannya, sementara kegiatan di BNPT honor setiap pihak yang dilibatkan dalam kegiatan dihitung berdasarkan Standar Biaya Masukan (SBM) yang besarannya ditetapkan oleh Kementerian Keuangan RI.
Terkait hal tersebut Fahrudin mencoba menjelaskan. Menurutnya, seorang artis yang dilibatkan sebagai narasumber mendapatkan honor standar Eselon II Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu satu juta rupiah per jam. Untuk satu kegiatan, selama setengah hari menyampaikan materi, kehadiran seorang artis dihitung selama 4 jam bekerja.
“Jika dihitung satu orang artis untuk hadir di satu kegiatan akan menerima honor empat juta rupiah dipotong pajak,” ungkap Fahrudin.
Fahrudin menambahkan, honor yang diberikan oleh BNPT tentu sangat kecil jika dibandingkan dengan pendapatan sang artis. Boro-boro untuk honor atas peran atau keterlibatannya dalam pembuatan film, honor untuk kegiatan workshop sejenis pun bisa jauh lebih besar. Meski tidak menyebutkan nilai pasti, dia mencontohkan bagaimana seorang Jajang C. Noor bisa menerima honor yang sangat besar atas kehadirannya sebagai mentor dalam pelatihan pembuatan film.
“Kalau beliau (Jajang C. Noor, Red.) biasanya melihat. Kalau acaranya komersil, honornya sangat besar,” ujar Fahrudin.
Lantas, apa yang menjadikan para artis itu bersedia berbagi pengalaman pembuatan video kepada pelajar peserta kegiatan BNPT. Fahrudin menyebut nasionalisme adalah kata kuncinya. “Saya sudah menemui mereka sebelum kegiatan ini dilaksanakan. Saya jelaskan semuanya, termasuk honor, dan mereka bersedia,” katanya.
Fahrudin mencontohkan alasan yang diungkapkan Mathias Muchus ketika menerima permintaan untuk menjadi narasumber yang disampaikannya. Bertemu pada pertengahan Februari tahun ini di sebuah mall di bilangan Jakarta Selatan, Mathias mengatakan untuk kepentingan Negara, uang (honor) bukan hal utama yang diperhitungkan.
“Kamu tidak komersil, kan? Kalau untuk Negara, saya mau,” kata Fahrudin menirukan kalimat Mathias Muchus.
Alasan yang sama rupanya juga disampaikan oleh Tjandra Wibowo. Menurutnya, melatih generasi muda untuk membuat video sebagai bagian dari upaya melawan radikalisme dan terorisme merupakan bagian dari panggilan jiwa.
“Ada kepuasan tersendiri ketika melihat peserta bisa membuat video yang bagus,” kata Tjandra.
Sementara Putri Ayudya mengaku diuntungkan dengan pengalamannya dalam kerja-kerja sosial, sehingga honor bukanlah patokan utama untuk pekerjaan yang dilakoninya. [shk]