Jakarta – Dalam menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang, para kontestan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) beserta para pendukungnya diminta untuk menjaga suasana politik dengan melakukan debat secara santun, mengedepankan etika dan beradab tanpa mengandung unsur ujaran kebencian baik di dunia nyata ataupun dunia maya. Hal ini sebagai upaya untuk menjaga persatuan bangsa dan sekaligus untuk menghindari perpecahan ataupun permusuhan di lingkungan masyarakat.
“Saya mengajak kepada kita semua agar supaya betul-betul menjaga suasana politik. Segala sesuatu yang kurang baik dari kacamata etika Pancasila itu supaya dihindari. Mari kita berdebat dengan damai, santun, argumentatif yang berpangkal dari permasalahan bangsa dan kemudian bagaimana cara memecahkan masalah-masalah bangsa ini dengan sebaik-baiknya tanpa harus menjatuhkan, menjelekkan lawan bicara kita atau lawan debat kita karena mereka semua itu adalah kita,” ujar Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Syafii Mufid, MA, di Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Syafii Mufid mengatakan, masyarakat para pendukung para calon kontestan harus bisa menahan diri untuk tidak mudah terpengaruh dengan debat yang mengandung unsur ujaran kebencian di dunia maya. Dirimya mengamati pasca debat perdana Capres dan Cawapres pekan lalu yang mana menurutnya Debat tersebut tidak merngubah opini masing-masing pendukung kontestan, yang mana pendukung A memenangkan yang didukung, begitu juga pendukung B memenangkan yang didukung.
“Ketika kondisi media sosial sudah semacam itu, orang yang tidak menjadi pendukung paslon menjadi bingung. Mereka kemudian menafsirkan sendiri-sendiri, kemudian mereka menyebarkan tafsirannya sendiri-sendiri dan itu menjadi konsumsi media sosial yang luas,” ujar pria yag juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta ini.
Dirinya mengamati di media sosial yang masih saja isinya masing-masing pendukung mendekonstruksi pihak-pihak yang tidak di dukung dan mengkonstruksi sebaik-baiknya pihak yang di dukungnya. “Yang saya sayangkan ada kelompok-kelompok yang saya tenggarai terorganisir, yang isinya tidak ada sedikitpun yang positif bagi siapa yang dianggap sebagai lawan. Jadi semuanya sangat jelek dan tidak ada baiknya sama sekali. Saya pikir yang model seperti ini adalah model orang sakit,” ujarnya.
Menurutnya, orang atau tokoh sehebat apapun tentunya ada kekurangannya. Begitu juga rivalnya yang juga manusia biasa, sejelek-jeleknya pun masih juga ada kebaikannya. Oleh karena itu sebagai rakyat dan warga negara sudah semestinya memilih itu berdasarkan atas keunggulan-keunggulan sebagai pemimpin bangsa, bukan mencari kejelekan-kejelekannya.
“Selama ini saya melihat di media sosial itu kejelekkan-kejelekannya yang ditampilkan. Kalau dua-duanya seperti itu maka dengan begitu yang kita peroleh semuanya adalah kejelekan. Ini yang saya warning betul,” kata pria yang juga Direktur Indonesia Institute for Society Empowerment (INSEP) ini.
Untuk itu dirinya meminta kepada seluruh calon dan juga pendukungnya untuk menjaga etika debat dan kesantuna dengan menghormati orang. Karena siapapun orangnya ketika sudah menjadi calon pemimpin harus dihormati sebagai orang terhormat. Karena yang kita debat adalah pikirannya untuk membangun bangsa in meski pikiran-pikiran itu dapat dilaksanakan atau tidak. “Kalau perdebatannya diseputar itu, saya yakin nanti tidak ada gejolak-gejolak Misalnya ketika kalah dalam pilpres ini, kemudian dia marah itu tidak ada,” ujarnya.
Menurutnya selama ini yang menjadi konflik dan emosional dalam perdebatan dikarenakan perdebatannya karena personal, padahal perdebatan itu harus keluar dari konteks personality. Perdebatan seharusnya masuk kepada substansi sebagai pemimpin negara.
“Pemimpin negara itu tugasnya apa ? Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa ‘melindungi seluruh warga negara, mencerdaskan seluruh warga negara, memakmurkan seluruh warga negara dan ikut bersama membangun perdamaian dunia’. Yang kita pilih adalah pemimpin untuk itu, bukan pemimpin yang untuk jadi wali nikah atau pemimpin yang jadi ketua-ketua paguyuban, bukan pemimpin seperti itu,” ucapnya.
Dirinya menilai, yang medasari para pendukung calon ini suka melontarkan ujaran kebencian saat melakukan debat dikarena opini yang dibangun bisa di stimulus. “Kalau ada pihak yang membuat opini dan menstimuluskan opini tersebut agar menjadi opini publik, maka kebencian kebencian itu akan menjadi milik publik. Saya tidak tahu apakah ada pihak-pihak yang mengaduk-aduk emosi bangsa ini supaya bertengkar terkait dengan Pilpres itu,” ujarnya menanyakan.
Menurut peneliti senior di Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama (Kemenag) ini, jika ujaran kebencian dibiarkan dalam debat tentunya hal tersebut sangat sangat berbahaya sekali Karena jika nanti sudah terpilih pemimpin, baik itu dengan jujur atau tidak jujur karena sudah didahului dengan kebencian, maka yang terjadi adalah kecurigaan. Dan kalau kecurigaan itu terjadi, maka langkah berikutnya adalah protes.
“Kalau protes itu dianggap oleh mereka tidak bisa diakomodir maka yang terjadi adalah perlawanan sosial,. Perlawanan sosial itu bisa berwujud seperti revolusi sosial seperti yang terjadi di Thailand, mesir, timur Tengah dan negara lain. Kalau revolusi social itu dibingkai dengan nuansa pikiran yang bercorak kepada etnis, ras, agama ataupun ideologi kemudian dipakai untuk landasan kebencian, maka yang terjadi adalah perang saudara, itu yang saya khawatirkan dan jangan sampai terjadi di negeri ini,” ujanrya.
Untuk itu dirinya berharap kepada pemerintah atau apparat hukum untuk betul-betul menegakkan aturan tanpa pandang bulu jika masih menemukan adanya ujaran kebencian dalam debat tersebut baik di duia nyata ataumun di media sosial. “Karena jika dibiarkan dan berpihak kepada kelompok tertentu tentunya akan melahirkan ketidakpuasan dan protes. Dan itu bisa menjadi kemarahan yang terpendam, itu sangat bahaya,” ujarnya.
Upaya lain menurutnya, pemerintah baik mulai dari Presiden sampai dengan Lurah harus dapat memberi contoh kepada masyarakat melalui ucapan dan tindakan sejuk, dengan tidak mengajak berantem, ataupun menang-menangan. Yang harus ditonjolkan oleh para paangan calon adalah harus bisa mengatkan bahwa dirinya akan menggunakan jabatan tersebut untuk memakmurkan, melaksanakan keadilan bagi masyarakat sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa dalam membangun dan memerdekakan negara ini.
“Itu yang harus banyak disampaikan sehingga rakyat itu menjadi percaya. Karena kalau tidak demikian maka ketidakpercayaan itu akan menggumpal dan tentunya ini sangat riskan. Cara yang terbaik menurut saya untuk mengatasi itu ya harus dengan memperbanyak dialog agar bisa menerima pandangan pandangan yang berbeda itu meskipun tidak harus melaksanakan. Itu untuk mengurangi tensi itu,” katanya
Untuk itu dirinya mengajak kepada seluruh anak bangsa Republik Indonesia ini untuk terus menjaga perdamaian, persatuan dan bersama-sama untuk membangun negeri yang dicintai ini menuju negara yang adil dan sejahtera dengan melakukan debat secara santun, argumentative, saling menyayangi, menghargai dan menghormati kepada pihak-pihak yang berbeda tanpa menggunakan ujaran kebencian.
“Karena pada hakikatnya perbedaan-perbedaan itulah yang kita kelola dengan baik agar dapat mewujudkan cita-cita negara ini saat didirikan, dibangun dan dikembangkan yaitu negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam NKRI yang Berbhineka Tunggal Ika,” katanya mengakhiri.