Dari Meramu Bom ke Meramu Kopi: Umar Patek Temukan Kedamaian di Secangkir Rasa

Surabaya – Hidup adalah pilihan, dan Umar Patek memilih jalan damai.
Mantan narapidana kasus terorisme ini kini menata ulang hidupnya
melalui cara sederhana: meracik kopi. Lewat brand Ramu Kopi 1966, ia
ingin dikenal bukan lagi karena masa lalunya, tapi karena secangkir
rasa yang ia seduh dari hati yang ingin berubah.

“Dulu aku dikenal karena hal yang menyakitkan dunia, tapi kini aku
memilih jalan lain. Meramu rasa, menyeduh damai,” ujar Umar,
menyampaikan pesan reflektifnya pada peluncuran soft opening di
Surabaya, Selasa (3/6/2025), dikutip dari tribunnews.com.

Nama asli Umar adalah Hisyam bin Alizein. Ia bebas dari Lapas Porong
pada 7 Desember 2022. Namun kebebasan bukan akhir dari perjalanan;
justru di sanalah titik awalnya dimulai. Stigma sebagai mantan pelaku
terorisme membuatnya sulit mendapat pekerjaan.

Dalam kebingungan, takdir mempertemukannya dengan seorang dokter
sekaligus pengusaha, drg David Andreasmito, dua bulan setelah
pembebasannya. Percakapan sederhana soal pekerjaan berujung pada
secangkir kopi yang disajikan Umar di rumahnya.

“Saya kaget. Kok enak? Dia bilang itu racikan rempah dari dia dan
istrinya. Saya bilang ke adik saya, gimana kalau kita bantu dia jual
kopi ini?” kisah dokter David.

Umar sempat menolak tawaran tersebut. Bukan karena tak ingin, tapi
karena takut nama dan masa lalunya justru membebani bisnis David.

“Saya pikir itu bisa merusak usaha beliau. Tapi setelah diskusi, saya
memberanikan diri. Kami sepakat memulai,” ujar Umar.

Brand Ramu Kopi 1966 by Umar Patek pun lahir. Nama “Ramu” diambil
sebagai bentuk simbolik—kebalikan dari “Umar”—dan juga penanda
perubahan besar dalam hidupnya: dari meramu kehancuran menjadi peracik
perdamaian.

Didukung oleh Hedon Estate Kitchen & Lounge di Surabaya dan
Banyuwangi, Umar tak hanya diberi ruang, tapi juga pelatihan. Ia
belajar menyangrai biji kopi bersama peracik kopi profesional, Yus,
dari Bondowoso. Dari sana ia menciptakan blend kopi robusta dan
arabika yang kemudian ludes diborong para penikmat kopi saat
diluncurkan di Banyuwangi.

“Banyak yang memesan. Soft launching langsung habis 2.000 pax dalam
sebulan,” tutur David.

Sebagian masyarakat memang bertanya-tanya, mengapa seorang dokter
non-Muslim seperti David begitu terbuka pada mantan napi terorisme.
Jawabannya ternyata sederhana: kasih sayang sesama manusia.

“Dia dulu yang mencintai saya duluan. Dia tahu saya berbeda keyakinan,
tapi kami bisa tertawa bersama. Saya tidak cari keberhasilan. Saya
hanya punya niat baik,” ucap David.

David bahkan bermimpi lebih jauh: jika bisnis ini berhasil, ia ingin
mengajak para penyintas dan keluarga korban tragedi masa lalu untuk
bergabung dalam usaha ini—sebuah jembatan damai yang dirajut dari sisi
paling gelap sejarah.

“Umar sudah minta maaf. Sekarang saatnya masyarakat memberi ruang.
Kalau bisnis ini berjalan, saya ingin mengajak para penyintas ikut
terlibat,” ujarnya dengan tulus.

Kisah Umar Patek bukan glorifikasi masa lalu, melainkan potret
perjalanan pertobatan dan upaya untuk memperbaiki diri di tengah
tantangan besar. Dan siapa sangka, dari gelapnya masa lalu, bisa lahir
harapan baru lewat aroma kopi.